... karena di Indonesia kerap pada tata kebijakan itu ide bagus, namun penerapannya di lapangan tidak terlaksana... "
Makassar (ANTARA News) - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi,  Abraham Samad, mengatakan, pembentukan Detasemen Khusus Anti-Korupsi sesuatu yang mubazir, karena upaya memberantas korupsi bukan dengan memperbanyak lembaga.

"Upaya pemberantasan korupsi itu sudah dilakukan KPK, sehingga wacana pembentukan Detasemen Khusus Anti-Korupsi itu mubazir," kata dia, di Makassar, Senin. Detasemen khusus ini diwacanakan Kepala Kepolisian Indonesia, Komisaris Jenderal Polisi Sutarman.

Menurut dia, "Wacana pembentukan detasemen khusus itu masih harus dicermati betul, karena di Indonesia kerap pada tata kebijakan itu ide bagus, namun penerapannya di lapangan tidak terlaksana."

Untuk memberantas korupsi, cukup banyak pranata institusi dan perangkat hukum yang ada, di antaranya 10 undang-undang, enam peraturan perundangan, enam instruksi presiden, lima keputusan presiden, dua peraturan presiden, dan tidak terbilang perarutan menteri atau sederajad. 

Demikian juga instansi yang "mengurusi" pemberantasan korupsi, dua di antara yang sejak awal paling berwenang adalah kepolisian dan kejaksaan; semakin ditajamkan dengan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan penyidik gabungan dari polisi dan kejaksaan.

Upaya keras KPK, diakui Samad, belum sepenuhnya memuaskan. Karena selain keterbatasan personil, juga dari sisi anggaran.

Sebagai gambaran, untuk memberantas kasus korupsi di 33 provinsi di Indonesia, KPK hanya memiliki sekitar 700 orang personil dengan jumlah penyidik hanya sekitar 70 orang.

"Jumlah kasus yang masuk ke KPK saja ada 30-40 kasus per hari, sementara setelah ditelaah terdapat sekitar 10 persen yang memenuhi untuk ditindaklanjuti," katanya.

Berkaitan dengan hal tersebut, lanjut dia, dalam menjalankan tugas dan fungsinya, KPK menggunakan skala prioritas dalam memberantas kasus-kasus korupsi.

Menurut dia, KPK hanya menangani kasus besar dengan dua indikator yakni pelakunya itu adalah penyelenggara negara atau penentu kebijakan. Sedang indikator lainnya, kasus itu harus signifikan.

"Karena itu untuk kasus korupsi di daerah, jika itu melibatkan gubernur, wali kota, ketua DPRD provinsi atau kabupaten/kota, barulah kita tangani. Sedang pada level bawahnya, diserahkan pada pihak kepolisian dan kejaksaan setempat," katanya.

Pewarta: Suriani Mappong
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2013