“Risiko ini sangat tinggi di lokasi pengungsi internal yang kondisi kehidupannya sangat buruk, dengan pasokan air, layanan kebersihan dan sanitasi yang tidak memadai – kondisi yang mendukung penyebaran kolera,” kata Perwakilan WHO untuk Republik Demokratik Kongo Boureima Hama Sambo pada konferensi pers PBB di Jenewa, di mana dia berpartisipasi secara virtual.
Sambo menekankan bahwa Kongo juga sedang berjuang melawan epidemi campak terbesar yang tercatat sejak 2019, dengan hampir 28.000 kasus dan 750 kematian pada 2024 hingga sejauh ini.
Sambo mengatakan kombinasi penyakit campak dan malnutrisi mempunyai dampak kesehatan yang serius pada anak-anak balita, dan kurangnya akses terhadap vaksin dan layanan vaksinasi memperburuk situasi ini.
Ia menambahkan pula bahwa antraks dan wabah penyakit juga telah berdampak pada masyarakat di Kongo Timur beberapa bulan terakhir.
“Selain itu, wabah cacar monyet yang masih muncul telah meningkat di seluruh negeri selama setahun terakhir,” katanya.
Ia mencatat bahwa hampir 4.000 kasus dugaan dan 271 kematian telah tercatat sejauh ini pada tahun 2024.
Angka ini menunjukkan tingkat kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan angka kematian selama wabah global.
Dia mengatakan lebih dari dua pertiga kasus dilaporkan terjadi pada anak-anak, dan anak kecil sangat berisiko meninggal.
Perwakilan WHO tersebut juga memperingatkan bahwa ada risiko perluasan geografis ke provinsi-provinsi yang sebelumnya tidak terkena dampak, dengan hampir semua provinsi, termasuk Kinshasa, kini melaporkan kasus-kasus tersebut.
“Ini juga merupakan ancaman ekspansi ke negara-negara tetangga dan sekitarnya,” kata Sambo.
Baca juga: WHO sebut wabah kolera di dunia terkait erat perubahan iklim
Baca juga: 10.000 lebih kasus kolera dilaporkan di Sudan
Sumber: Anadolu
Penerjemah: Devi Nindy Sari Ramadhan
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2024