Jakarta (ANTARA) - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Aris Adi Leksono mengatakan bahwa pemahaman ilmu agama penting untuk mencegah perundungan atau bullying di pesantren.

Aris menuturkan selama ini diskursus ilmu agama yang berkaitan dengan perundungan diajarkan di pesantren, tetapi implementasi, pemahaman, atau internalisasi nilai-nilai itu masih belum dioptimalkan.

"Kalau kamu mau selamat, maka jagalah lisanmu, misalnya. Kan bullying itu berawal dari lisan. Diskursus yang ada di pesantren itu barangkali siapa yang ingin selamat, maka dia menjaga lisannya," ujar dia dalam diskusi "Pesantren Ramah: Katakan 'Tidak' pada Bully dan Kekerasan Seksual di Pesantren" yang disiarkan Duta Santri Nasional di Jakarta, Sabtu.

Baca juga: KPAI dorong partisipasi anak di kegiatan Ramadhan cegah perang sarung

Konsep-konsep agama lainnya terkait pencegahan perundungan yang diajarkan, kata dia, bahwa adab lebih tinggi dibandingkan ilmu, cara bergaul yang baik, saling menghormati, dan menjaga sesama. Namun demikian, Aris menilai di pesantren masih minim literasi tentang perlindungan anak.

Minimnya literasi tersebut, menurut dia, menyebabkan anggapan bahwa perundungan adalah bentuk kenakalan anak-anak yang biasa saja. Selain itu, sejumlah budaya perlu diluruskan kembali guna mencegah pemahaman bahwa kekerasan pada anak dibenarkan.

"Ada tradisi tak'zir misalnya di pesantren. Saya kira juga ini suatu hal yang saat ini perlu diluruskan kembali. Untuk tujuan apapun, tujuan mendidik, tujuan membimbing, yang namanya kekerasan tidak dibenarkan kepada anak. Kenapa? Karena akan berdampak baik secara fisik maupun psikis yang akan diingat oleh anak itu terus-menerus," kata dia menjelaskan.

Baca juga: KPAI serukan pentingnya orang tua lindungi anak dari kekerasan

Apabila anak mengingat kejadian itu terus menerus, katanya, maka dapat menjadi risiko anak tersebut melakukan kekerasan juga. Bahkan, perundungan juga dapat mendorong korbannya untuk bunuh diri.

Dia menyebutkan data 2023 dari KPAI menunjukkan dari 46 kasus bunuh diri pada anak-anak, 55 persen di antaranya terjadi di lingkungan pendidikan, atau dengan kondisi anak ditemukan masih memakai seragam atau atribut sekolah.

"Dia memilih mengakhiri hidup. Ya mungkin karena awalnya dirundung, dia tidak dapat solusi, curhat ke gurunya tidak direspons, orang tua sibuk, dan seterusnya, sehingga dia memilih mengakhiri hidup," katanya.

Baca juga: Kekerasan di satuan pendidikan akibat deteksi kelompok negatif lemah

Aris menjelaskan anak tersebut kemudian mencari solusi masalahnya di media sosial, kemudian menemukan bunuh diri sebagai salah satu jalannya.

"Oleh karena itu, isu perundungan perlu menjadi perhatian semua pihak," ujarnya.
 

Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2024