Gaza, Palestina (ANTARA) - Di tengah puing-puing bangunan yang hancur di Jalur Gaza, seorang pria Palestina bernama Nidal Abu Baraka (55) memilih untuk berbuka puasa setiap hari saat Ramadhan bersama keluarga di reruntuhan rumahnya.

"Saya tidak akan pernah berhenti berbuka puasa di rumah saya bahkan dalam situasi seperti ini," kata ayah delapan anak itu kepada Xinhua sembari membantu istrinya memasak sepanci nasi menggunakan kayu bakar di rumahnya yang hancur di Deir al-Balah, sebuah kota di Gaza tengah.

Pada 11 Maret lalu, Gaza yang dilanda perang memasuki bulan suci Ramadhan di tengah suasana kekecewaan yang dirasakan oleh warga Palestina setelah mengetahui bahwa segala upaya internasional untuk mencapai gencatan senjata Israel-Hamas sebelum Ramadan telah gagal.
 
   Masyarakat menunggu bantuan makanan di kota Rafah di Jalur Gaza selatan pada 14 Maret 2024. (Khaled Omar/Xinhua)


Israel melancarkan perang besar-besaran melawan Hamas di Gaza sejak 7 Oktober tahun lalu, setelah Hamas melakukan serangan mendadak di kota-kota perbatasan Israel, yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera lebih dari 200 orang.   

Israel kemudian meningkatkan serangan melalui darat, udara, dan laut ke Gaza yang sudah menderita akibat blokade Israel yang telah diberlakukan sejak 2007.

Sejauh ini, lebih dari 32.000 warga Palestina tewas dalam perang yang telah berlangsung selama lebih dari lima bulan itu, ungkap Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas di Jalur Gaza.
 
  Orang-orang terlihat di sekitar bangunan yang hancur setelah serangan udara Israel di kota Rafah di Jalur Gaza selatan, pada 22 Maret 2024. (Khaled Omar/Xinhua)


"Karena semua tragedi ini, kami kehilangan segala sesuatu yang berhubungan dengan ritual Ramadan. Sebagian besar hidangan dan kudapan manis yang lezat tidak lagi dapat terhidang di meja kami," keluh Abu Baraka.

Selain itu, rumah-rumah tidak lagi dihiasi dengan lentera dan lampu bernuansa Ramadan yang indah, "kami juga tidak punya waktu untuk saling berkunjung dengan kerabat dan orang-orang terkasih," tuturnya.

"Orang-orang sibuk mencari sedikit makanan untuk bertahan hidup ... tetapi bahkan hal itu pun tidak mudah bagi seluruh warga Palestina di Gaza," imbuh Abu Baraka.

Situasi yang tak jauh berbeda juga dialami oleh keluarga Abu Hussam Ramadan, warga Palestina lainnya yang mengungsi dari Beit Lahia, Gaza utara, ke sebuah tempat pengungsian di Kota Rafah di Gaza selatan. Hidangan di mejanya kini terbatas pada beberapa piring kecil makanan, yang sebagian besar terbuat dari makanan kaleng siap saji.

Sambil memasak sekaleng kacang di atas api untuk disantap bersama, ayah dua anak itu mengatakan bahwa dahulu keluarganya biasa memasak hidangan terlezat di bulan Ramadan. Namun, kondisinya telah berubah total tahun ini karena perang telah merampas rumah, pekerjaan, dan bahkan orang-orang yang mereka cintai.

"Sejak Ramadhan tiba 13 hari lalu, saya belum bisa membeli ayam atau daging apa pun (baik segar maupun beku) karena harganya yang tidak masuk akal," ujar Abu Hussam.
 
   Masyarakat menunggu untuk mengambil air di kota Rafah di Jalur Gaza selatan, pada 22 Maret 2024. (Foto oleh Rizek Abdeljawad/Xinhua)


Samiha Al-Ayoubi (45), seorang wanita Palestina yang mengungsi di Rafah, mengatakan bahwa akibat perang, kemiskinan, dan lonjakan harga barang, bulan Ramadan telah berubah dari yang sebelumnya adalah waktu untuk beribadah, bersedekah, dan berpuasa, menjadi perjuangan sehari-hari untuk bertahan hidup. 

Sebagai pengurus utama sebuah keluarga yang beranggotakan 15 orang, yang semuanya tinggal dalam satu tenda, Al-Ayoubi menghabiskan sebagian besar waktunya mengantre di sejumlah tungku tanah liat yang tersebar di antara tenda-tenda untuk menunggu gilirannya memanggang adonan atau memasak makanan kaleng atau sayuran apa pun yang dia miliki menggunakan kayu bakar.

"Terkadang kami hanya mengandalkan makanan kaleng, dan di lain waktu saya memasak lentil ... tetapi di lain waktu, makanan berbuka kami hanya terbatas pada roti lapis dengan keju kalengan saja," kata ibu lima anak itu kepada Xinhua.

Sayangnya, Al-Ayoubi berkata, "Kami saat ini berjuang untuk bertahan hidup ... dan semua hidangan lezat, termasuk sup dan kudapan manis, tidak ada di meja kami."
 
   Warga memeriksa bangunan yang hancur setelah serangan udara Israel di kota Rafah di Jalur Gaza pada 22 Maret 2024. (Khaled Omar/Xinhua)


Yang makin memperburuk keadaan mereka adalah ancaman Israel yang terus digaungkan untuk menyerang Gaza, rumah bagi lebih dari 1,5 juta warga Palestina.

"Setiap waktu, kami terancam untuk mengungsi lagi ke tempat lain, dan kami tidak dapat memprediksi apa yang akan terjadi pada kami dalam beberapa hari atau bahkan beberapa jam ke depan," imbuhnya.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memperingatkan akan terjadinya kelaparan yang meluas di Jalur Gaza pada bulan suci Ramadan, jika Israel terus melakukan pembatasan ketat terhadap masuknya pasokan bantuan ke Gaza.

Kementerian Kesehatan di Gaza mengatakan bahwa sekitar 27 warga Palestina meninggal akibat malanutrisi dan dehidrasi, seraya menuduh Israel sengaja membuat warga Palestina kelaparan.

Organisasi-organisasi PBB meminta Israel untuk mengizinkan pasokan bantuan masuk melalui penyeberangan darat dan menyalurkannya ke seluruh masyarakat tanpa kecuali.

Pewarta: Xinhua
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2024