Istanbul (ANTARA) - Para pakar mendapati karbon hitam berkontribusi terhadap pemanasan suhu permukaan bumi sekitar 0,6 watt per meter persegi.

Meskipun tidak digolongkan sebagai gas rumah kaca, karbon hitam, yang umumnya dikenal sebagai jelaga, diakui sebagai faktor penting dalam perubahan iklim dan masalah kesehatan manusia.

Burcu Onat, dosen di departemen teknik lingkungan di Universitas Istanbul-Cerrapasa, menyelidiki berbagai dampak dari emisi karbon hitam terhadap dinamika iklim planet bumi dan kesehatan masyarakat, dalam wawancara kepada Anadolu.

Onat mengatakan di Antartika, dalam satu gram salju terdeteksi kandungan hampir tiga nanogram karbon hitam.

Emisi tersebut berasal dari berbagai sumber termasuk pembakaran tidak sempurna dari batu bara, solar, bensin, dan biomassa, kata Onat.

Menurut data Koalisi Iklim dan Udara Bersih (CCAC), hampir 5,8 juta ton karbon hitam dihasilkan pada tahun 2019, dengan konsumsi energi rumah tangga berkontribusi sebesar 43 persen terhadap emisi global.

Dia mengatakan karbon dioksida menempati urutan pertama di antara gas-gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global.

Sedangkan metana berada di urutan kedua, dan, Onat menegaskan, karbon hitam atau jelaga menempati peringkat ketiga.

Karbon hitam menyebabkan pemanasan global melalui tiga mekanisme berbeda.

Tidak seperti gas rumah kaca, yang terutama mempengaruhi atmosfer melalui mekanisme tunggal, karbon hitam memberikan pengaruhnya lewat tiga jalur berbeda, Onat menegaskan.

"Apabila ada karbon hitam di atmosfer, dia langsung menyerap sinar matahari dan menyebabkan atmosfer memanas. Ini mekanisme pertama.

"Mekanisme kedua adalah ketika karbon hitam di atmosfer mengendap di permukaan seperti salju dan es, dia mencemari permukaan dan mengubah reflektivitas permukaan terhadap sinar matahari.

"Permukaan salju yang bersih memantulkan sekitar 90 persen sinar matahari yang berasal dari luar angkasa, namun ketika terkontaminasi dengan karbon hitam, laju pantulan itu menurun, dan permukaan tersebut menyerap lebih banyak sinar matahari.

"Hal itu menyebabkan lebih banyak panas, oleh karena itu, mempercepat pencairan gletser dan permukaan salju," kata Onat.

Ketiga, apabila terdapat karbon di dalam awan, hal itu juga mempengaruhi reflektivitas, durasi awan, dan mengubah curah hujan sehingga menyebabkan udara menjadi hangat.

Berbicara tentang pemantauan dan pelacakan konsentrasi karbon hitam di berbagai kota di seluruh dunia, Onat mencatat bahwa rata-rata konsentrasi karbon hitam di perkotaan bervariasi antara 5 dan 20 mikrogram per meter kubik.

Onat juga mengevaluasi dampak karbon hitam terhadap kesehatan.

"Apabila proporsi karbon hitam dalam materi partikulat tinggi maka akan meningkatkan dampak negatif terhadap kesehatan. Hal ini memicu risiko asma pada anak-anak sehingga menyebabkan penyakit pernafasan semakin parah," ujarnya.

Guna melindungi diri dari polusi karbon hitam, Onat menyarankan untuk meminimalkan aktivitas di luar ruangan pada hari-hari ketika kualitas udara buruk dan menggunakan masker saat keluar rumah apabila diperlukan.

Dia juga menekankan perlunya penggunaan filter penangkap karbon hitam, terutama pada sumber-sumber yang bergerak, untuk mencegah polusi karbon hitam dari pembakaran bahan bakar.

Onat juga menambahkan meluaskan penggunaan sistem kereta api dan kendaraan listrik pada angkutan umum perkotaan akan mengurangi beban yang disebabkan oleh karbon hitam.

sumber: Anadolu
Baca juga: Perubahan iklim, pemanasan global jadi tantangan baru pariwisata dunia
Baca juga: "Green inflation" dan pemanfaatan energi hijau
Baca juga: Kenaikan suhu setahun terakhir lampaui ambang batas

 

Penerjemah: Aditya Eko Sigit Wicaksono
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2024