Jakarta (ANTARA) - Perairan Indonesia yang terbagi dalam 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) ini memiliki potensi kekayaan sumber daya perikanan yang beragam, sesuai dengan karakteristik yang dimiliki wilayah masing-masing.

Misalnya saja di WPPNRI 714 yang meliputi Teluk Tolo dan Laut Banda serta WPPNRI 715, meliputi perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut seram, dan Teluk Berau, yang memiliki produksi perikanan tangkap jenis tuna sebagai produksi unggulan. Produksinya mencapai 11.090 ton dari potensi sekitar 13.000 ton per tahun.

Dengan data produksi dari satu wilayah itu, Indonesia berpotensi menjadi "jagoan" di kancah global serta nasional, dengan tetap mengedepankan sisi keberlanjutan lingkungan pada proses pemanfaatannya. Hal itu sejalan dengan kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), yaitu prioritas ekonomi biru, yang meliputi perluasan kawasan konservasi laut, penangkapan ikan terukur berbasis kuota, pengembangan perikanan budi daya perairan berkelanjutan di perikanan laut, pesisir, dan darat.

Lalu kebijakan pengawasan dan pengendalian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta penanganan sampah plastik di laut, melalui gerakan partisipasi nelayan atau disebut Gerakan Nasional Bulan Cinta Laut.


Menakar potensi tuna

Apa yang terbayang ketika mendengar tentang ikan tuna? Kita terbayang dengan warna daging ikan yang merah serta ukuran ikan utuh yang besar. Kelezatan ikan ini memang termahsyur di kalangan pecinta kuliner khas Jepang yang lekat dengan makanan laut segar belum dimasak atau sashimi.

Potensi ekonomi ikan ini juga tak kalah menarik. Bila dilihat dari sisi produksi, Indonesia mampu menghasilkan 301.799 ton tuna, dengan nilai Rp10,77 triliun pada 2022. Dengan produksi itu, tak heran jika sudah semestinya mengonsumsi tuna serta memanfaatkan hasil tangkapan negeri sendiri sepatutnya digelorakan lebih intens.

Jenis ikan yang masuk dalam kategori pelagis atau ikan yang secara umum menghuni perairan terbuka di dunia ini, bersama dengan ikan yang masih satu keluarga, yakni cakalang dan tongkol (keluarga scombridae), menjadi jenis ikan yang kerap kali dikonsumsi masyarakat Indonesia.

Tak hanya untuk konsumsi dalam negeri, tuna-tongkol-cakalang (TTC) rupanya juga memiliki penggemar di luar negeri, bahkan tuna asal Indonesia telah diserap pasar AS, Jepang, Thailand, Arab Saudi, Uni Eropa, Australia, Vietnam, Inggris, serta Filipina. Bahkan, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyebut produksi TTC Indonesia terbesar di dunia, yang berkontribusi 15 persen dalam pasar global.

Sementara untuk ekspor ke negeri Tirai Bambu, catatan KKP mengungkap ekspor komoditas TTC ke Tiongkok pada 2023 mengalami peningkatan volume yang tinggi, yakni mencapai 518,4 persen dibandingkan periode yang sama pada 2022, sebagaimana diungkap oleh Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) KKP Budi Sulistiyo.

Ekspor komoditas TTC pada 2023 mencapai 3.391 ton, dengan nilai sebesar 9,51 dolar AS, sementara produk yang diekspor ke Tiongkok meliputi bentuk utuh beku 80,47 persen dari total ekspor, disusul bentuk potongan daging tanpa tulang (fillet) beku sebanyak 18,36 persen dan bentuk segar (dingin) sebesar 1,17 persen.

Tak hanya Tiongkok, guna menjangkau pasar yang lebih luas di kawasan Asia Timur. KKP juga merambah pasar Jepang lewat negosiasi pos tarif ekspor ke Jepang dari 9,6 persen menjadi nol persen untuk komoditas tuna, dengan jenis produk olahan untuk tuna dan cakalang kaleng serta dua pos tarif katsuobushi dengan HS Code 1604.1-091 dan tuna lainnya dengan HS Code 1604.14-099. Lewat kesepakatan penurunan pos tarif ekspor itu, yang diharapkan dapat berjalan tahun ini mampu membanjiri negeri Matahari Terbit tersebut.

Sementara untuk Benua Biru, KKP mencatat ekspor komoditas TTC ke Uni Eropa mencapai 101 juta dolar AS atau meningkat 15,64 persen dibandingkan dengan tahun 2022. Tercatat, komoditas itu diekspor dalam bentu produk yang didominasi potongan daging tanpa tulang (fillet) sebesar 85 persen, kaleng 7,68 persen, beku sebesar 6,57 persen, serta bentuk lainnya sebesar 0,17 persen.


Gebyarkan tuna Indonesia

KKP yang juga berfokus dari sisi hilir lewat Ditjen PDSPKP, tahun ini juga memiliki program "Pencanangan Tahun Tuna Indonesia 2024" guna memperkuat daya saing komoditas tuna di pasar global dan domestik.

Lewat Pencanangan Tahun Tuna 2024, yang diluncurkan dalam gelaran Hari Ikan Nasional (Harkannas) November 2023, terkandung komitmen besar dalam memperkuat daya saing komoditas itu. KKP memiliki sejumlah program yang akan dilakukan untuk menyukseskannya, meliputi bazar tematik tuna, turut andil dengan menghadirkan produk perikanan Indonesia dalam pameran Seafood Expo North America (SENA) 2024 yang berlangsung di Boston, AS.

Selain itu, juga ikut dalam penyelenggaraan Tuna Day pada 6 Mei 2024 di Surabaya yang bekerja sama dengan PHRI, asosiasi perikanan tuna; kampanye tuna talk di Bitung; kampanye tuna dengan retail modern, serta melaksanakan kegiatan Hari Ikan Nasional dengan tema tuna.

KKP yang memfasilitasi produk perikanan Indonesia dalam perhelatan SENA 2024 di Boston juga mencatatkan potensi nilai perdagangan sebesar 58,47 juta dolar AS, sementara untuk komoditas tuna berpotensi menghasilkan nilai transaksi sebesar 29,50 juta dolar AS atau 50,45 persen dari total potensi transaksi saat pameran berlangsung pada April lalu.


Dongkrak produksi

Sejauh ini, Indonesia menghasilkan produksi tuna dengan cara ditangkap, bukan dibudidayakan (farming). Kementerian Kelautan dan Perikanan getol mencari cara agar komoditas bernilai tinggi ini mampu meningkat, sehingga berperan lebih penting lagi dalam roda perekonomian nasional.

Awal tahun 2024, Menteri KP terbang ke Turki untuk mempelajari teknologi budi daya tuna di negeri itu. Hal itu, disebutnya, selain mendongkrak produktivitas juga untuk menjaga keberlanjutan.

Bagi Kementerian KP, tuna yang dibudidayakan di Laut Izmir merupakan jenis Atlantik bluefin tuna (tahunnya thynnus). Tuna di kawasan itu berasal dari penangkapan bayi-bayi tuna dari alam yang digiring perlahan ke lokasi budi daya, dengan proses pembesaran lima hingga enam bulan di keramba berukuran 50-60 meter, dengan kedalaman 18 meter.

Rencana pengembangan budi daya itu merupakan langkah nyata Pemerintah Indonesia dalam memberantas penangkapan ikan secara ilegal (illegal, unreported, unregulated fishing/IUUF) di Tanah Air. Sementara soal lokasi yang berpotensi menerapkan sistem itu meliputi perairan Kupang (NTT) hingga Morotai (Maluku Utara).
 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024