Jakarta (ANTARA) - Konten kuliner baik itu ulasan makanan dan minuman maupun resep masakan menjadi salah satu unggahan yang kerap muncul di lini masa media sosial, tak terkecuali selama bulan Ramadhan ketika umat Islam berpuasa.

Tak jarang dalam grup sejawat di aplikasi perpesanan juga ada anggota yang mengunggah konten kuliner, baik untuk menyajikan informasi atau sekedar lelucon penyegar suasana.

Berikut adalah pandangan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang Dakwah dan Ukhuwah K.H. Cholil Nafis mengenai konten kuliner yang mewarnai media sosial di bulan Ramadhan:

Ya mungkin juga orang mengunggah makanan di media sosialnya untuk berjualan atau bisa juga membagikan informasi tentang resep masakan.

Tapi, menurut saya keterlaluan apabila seseorang membatalkan puasa hanya karena melihat konten makanan di media sosial.

Baca juga: "Takjil War" berkah Ramadhan, tapi hati-hati jangan berlebihan
Baca juga: Singkat atau lama, bagaimana Tarawih sebaiknya ditunaikan?


Yang jelas kita ini harus cerdas, ramah, dan santun dalam bermedia sosial. Bahwa media sosial harus diumpamakan kita betul-betul hadir langsung dalam perbincangan yang terjadi, sehingga jangan sampai memberikan kesan jelek.

Kalau sekedar bercanda, ya boleh-boleh saja, tetapi apapun yang keterlaluan itu tidak boleh. Dalam bahasa Arab ada pepatah "Idza tajawazal amru anhaddihi, in'akasa ila biddihi" yang artinya pada saat itu melewati batas, yang baik menjadi buruk. Oleh karena itu bercanda seperlunya saja.

Perihal apabila seseorang sampai puasanya batal karena melihat konten makanan di media sosial, dosanya tentu ditanggung oleh yang bersangkutan, sementara si pengunggah yang memang niatnya bukan untuk menggoda tidak dibebani dosa.

Baca juga: Mimpi basah selepas subuh, apakah membatalkan puasa?
Baca juga: Berkeliling membangunkan sahur dengan pengeras suara, perlukah?

Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2024