Surabaya/Jatim (ANTARA) - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat terdapat 1.730 konten penipuan online selama Agustus 2018 hingga 16 Februari 2023, dengan kerugian akibat penipuan daring itu mencapai Rp18,7 triliun pada 2017-2021.

Artinya, akibat dari kriminalitas di dunia digital itu, kerugian yang tidak kecil, salah satunya dialami oleh salah seorang wartawan salah satu media nasional berinisial PIS (26) yang menjadi korban penipuan transaksi online melalui media sosial (medsos) instagram dengan akun @fashion_women.id hingga Rp66,5 juta.

Awalnya, menurut korban, dari transaksi daring (online) tanggal 16 Maret 2024 untuk membeli pakaian dari akun instagram fashion_women.id dengan nominal Rp400 ribu dengan cara mentransfer melalui BNI, dengan nomor rekening 1808454994 atas nama Dian Artharini Astuti.

Tetapi, pengiriman mengalami permasalahan izin, karena pakaian merupakan barang impor, sehingga korban tidak menerima pakaian tersebut hingga saat ini.

Akhirnya, korban berkomunikasi dengan sosok diduga pemilik (owner) atas nama Anita melalui nomor 0882-0229-99185 yang saat ini sudah tidak bisa dihubungi atau nomor dihapus/dinonaktifkan.

"Saya pun kembali mengontak nomor WA yang tertera di instagram fashion_women.id, yakni 0853-4394-4122 selaku admin pada 30 Maret 2024," katanya.

Melalui obrolan tersebut, korban meminta pengembalian (refund) sebesar Rp400.000 dan admin juga sepakat melakukan refund. Akhirnya, korban diminta untuk menghubungi bendahara toko dengan nomor WA 0822-4537-9070.

Selanjutnya, bendahara toko tersebut mengatakan tokonya memiliki sistem refund tersendiri karena merupakan barang impor, dimana harus memasukkan kode yang diberikan oleh bendahara toko dalam transaksi berupa transfer.

Karena percaya, kemudian korban mengirim uang sebesar Rp9,5 juta melalui rekening BCA ke rekening yang sama dengan rekening saat membayar pakaian.

Tiba-tiba, Bendahara toko ini pun menghubunginya dan mengatakan dana refund-nya pending dan harus mencairkan lewat rekening lain. Saat itulah, dirinya diminta untuk kembali melakukan transaksi menggunakan rekening kedua, yakni BNI. Transaksi melalui rekening tersebut berlangsung dua kali, yakni Rp38,5 juta dan Rp18,5 juta, sehingga total kerugian mencapai Rp66,5 juta.

Saat ini, bendahara toko telah menonaktifkan nomornya, korban pun telah diblokir, sehingga akhirnya korban melapor ke SPKT Polda Metro Jaya dengan nomor LP/B/1810/III/2024/SPKT/Polda Metro Jaya pada 31 Maret 2024.

Dalam laporannya, korban melapor yang masih dalam lidik tersebut dengan pasal 28 ayat 1 Juncto pasal 45A ayat 1 UU nomor 1/2024 tentang perubahan kedua UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang tindak pidana kejahatan informasi dan transaksi elektronik (UU ITE).

Awalnya korban sudah merasa aneh, sayangnya dia mengakui kekeliruannya karena percaya ketika pelaku memberi banyak video bukti dari proses refund sebelumnya yang berhasil. Korban sempat menonton video itu beberapa kali untuk memastikan. Akhirnya korban percaya pada sistem itu.

Dia mengaku tak sempat menyimpan bukti video proses refund yang pernah dikirimkan bendahara toko tersebut.


Lindungi data

Potensi kerugian dari kriminalitas digital itu cukup besar, mengingat saat ini terdapat 202,6 juta pengguna internet di Indonesia, lalu pengguna aktif sosial media ada 170 juta jiwa (87 persen menggunakan aplikasi Whatsapp, 85 persen mengakses Instagram dan Facebook).

Tidak hanya itu, rata-rata masyarakat Indonesia menggunakan media digital selama 8 jam 52 menit sehari. Jadi, ini melebihi batas waktu masyarakat berkomunikasi di ruang non-digital, sehingga dapat memicu seseorang melakukan tindak kejahatan penipuan.

Bagi tokoh pers Dahlan Iskan, kejahatan itu terjadi di mana-mana, termasuk di dunia digital. Fitnah ada di mana-mana, termasuk di dunia digital. Kekejaman ada di mana-mana, pun di dunia digital.

Maraknya kejahatan di dunia digital yang disebut oleh mantan Menteri BUMN itu dapat menjadi panduan bagi masyarakat untuk waspada dengan mengenali modus pelaku penipuan online serta membiasakan diri melindungi data pribadi.

Modus penipuan online yang biasanya terjadi di ruang digital, seperti phising, pharming, sniffing, money mule, dan social engineering, ujar Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo, Semuel A. Pangerapan, saat berbicara dalam Webinar "Mewaspadai Jeratan Pinjaman Online Ilegal".

Phising dilakukan oleh oknum yang mengaku dari lembaga resmi dengan menggunakan telepon, email atau pesan teks, namun sebetulnya mereka ingin menggali supaya kita memberikan data-data pribadi kita.

Modus lain, phraming handphone, adalah penipuan dengan modus mengarahkan mangsanya kepada situs web palsu, lalu entri domain name system yang ditekan korban akan tersimpan dalam bentuk cache, sehingga perangkat korban dapat diakses secara ilegal. Ini mirip hack, namun pelaku menggunakan aplikasi yang menipu, seperti APK, Pdf, foto buram, dan telepon arahan pencet tombol XYZ.

Modus ketiga, sniffing adalah modus hack (retas) juga, namun oknum pelaku meretas dengan menggunakan/mengakses wifi umum yang ada di publik, apalagi digunakannya untuk bertansaksi.

Modus keempat adalah money mule. Kementerian Kominfo menjelaskan penipuan jenis ini, misalnya ada oknum yang meminta korbannya untuk menerima sejumlah uang ke rekening untuk nantinya ditransfer ke rekening orang lain, ternyata bodong, lalu korban justru diminta mengembalikan.

Modus kelima adalah social engineering. Ia menegaskan modus ini perlu diwaspadai agar tidak terjadi penipuan online. Penipu mengambil kode OTP atau password karena sudah memahami kebiasaan targetnya. Dengan kata lain, masyarakat tidak sadar seringkali membagikan data-data yang seharusnya perlu dijaga.

Saat ini justru ada modus terbaru yang tidak disebut Ditjen Aptika Kominfo itu, seiring perkembangan dunia digital. Modus terbaru itu dikenal dengan "quishing" yang merupakan gabungan hack, scam, pishing, dan QR code, lalu QR code dilarikan ke web atau aplikasi (hack dengan gabungan teknologi digital).

Modus-modus yang disebut Dirjen Aptika Kominfo itu bersifat penipuan ala hacker (peretasan), namun ada modus lain, yakni scam atau pencurian beneran, seperti dialami wartawan PIS (penipuan keuangan dan non-keuangan memanfaatkan berbagai aplikasi).

Bahkan, kalau PIS mengalami scam yang bersifat keuangan, namun ada juga scam yang bersifat non-keuangan, seperti kasus TPPO yang dialami sejumlah mahasiswa Indonesia yang magang di Jerman, tawaran pekerja migran dengan iming-iming gaji besar yang ternyata pekerjaan prostitusi, atau ada istilah "love scamming" (jebakan cinta berujung pinjaman online).

Menghadapi berbagai kenyataan itu, solusinya adalah literasi keamanan digital menjadi penting, seperti sering berganti password. Solusi lain adalah menjadikan "kesalehan digital" sebagai "gaya hidup" saat ini, seperti memahami modus-modus kriminalitas yang berkembang di dunia digital.


 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024