Jakarta (ANTARA) - "Urip iku urup". Nasihat dalam Bahasa Jawa ini bermakna bebas bahwa "Hidup itu haruslah selalu berguna dan menginspirasi orang lain".

Menelusuri malam-malam akhir bulan Ramadhan, saf-saf jamaah di masjid mulai longgar ditinggalkan jamaah yang masih sibuk oleh segala aktivitasnya.

Setelah tarawih, dalam sebuah obrolan ringan, seorang teman bercerita kalau istrinya sudah meminta uang Lebaran sejak awal April, sebelum masuk bulan Ramadan. Menurutnya uang tersebut akan digunakan untuk pembayaran pembelian baju Lebaran anak-anaknya melalui pemesanan daring dan persiapan  lainnya untuk Lebaran.

Bagi orang tua, Lebaran atau Idul Fitri merupakan hari-hari yang penuh dengan kesibukan. Mereka akan disibukkan dengan membeli pakaian baru yang bagus, menyiapkan segala makanan enak, serta menghias rumah dengan segala hiasannya. Semuanya dilakukan dengan penuh suka cita.

Baju baru untuk anak-anak merupakan bentuk syukur orang tua, ketika anak-anaknya yang masih kecil dapat ikut berlatih bersama-sama melaksanakan puasa sebulan penuh.

Bagi anak-anak yang tinggal di Indonesia dengan penduduknya mayoritas Muslim, berlatih puasa sebulan penuh selama Ramadhan bukanlah suatu hal yang luar biasa, tetapi bagi anak-anak Muslim yang tinggal di negara-negara dengan musim yang berbeda serta masyarakat yang berbeda tentunya mempunyai tantangan yang berbeda-beda pula.

Beberapa tahun lalu, ketika anak saya masih duduk di bangku taman kanak-kanak di Filipina ikut berpuasa, gurunya sangat terkejut dan menyarankan agar dia berbuka puasa saja, karena dikhawatirkan akan terjadi apa-apa selama di sekolah. Kepala sekolahnya pun kemudian menulis surat kepada saya meminta saya untuk menerangkan permasalahan ini.

Memang puasa memerlukan latihan, selain latihan fisik, juga latihan semangat dan kejujuran dari sejak kecil.

Suatu ketika, seorang teman yang non-Muslim dan sudah dewasa datang kepada saya, mengatakan sudah membenarkan semua ajaran Islam, tetapi dia belum mau menjadi muallaf karena ada ajaran berpuasa sebulan penuh yang sangat berat untuk dilaksanakan.

Banyak hadits yang menceritakan bagaimana baginda Rasulullah Sallallaahu Alaihi Wassallam sangat memuliakan anak-anak kecil, terutama anak yatim dan dari keluarga fakir miskin. Bukan sekadar memberikan sesuatu kepada anak-anak tersebut, tetapi nabi juga mengangkat dirinya menjadi ayah dari anak-anak yatim dan fakir miskin.

Selain membayar zakat fitrah, umat Islam juga diwajibkan untuk membayarkan zakat mal bagi yang mampu. Dalam takaran fiqih (hukum Islam) zakat mal hanya dikeluarkan sebesar 2,5 persen dari harta kita yang dikumpulkan selama satu tahun (haul) dan sudah masuk ke dalam nishab (ukuran minimal) dari harta yang harus dikeluarkan zakatnya.

Kedudukan zakat yang sangat penting dalam Islam ini bisa dilihat bagaimana khalifah pertama Abu Bakar as Shidiq sampai memerangi orang-orang yang mampu, tetapi tidak mau membayar zakat. Khalifah Umar bin Khatab-pun menjadikan zakat sebagai sumber utama pemasukan negara Madinah, selain jizyah (pajak) bagi orang-orang non-Muslim dan sumber-sumber lainnya, yang dikelola dengan sangat baik dalam sebuah baitul mal (kas negara).

Puasa Ramadhan diharapkan bukan hanya bisa melahirkan dan menumbuhkembangkan rasa cinta kita kepada fakir miskin, tetapi juga harus bisa melahirkan gerakan berbagi kepada semua orang yang dalam kesusahan.

Ramadhan bulan yang sangat mulia, maka sepatutnya dan sepantasnyalah umat Islam yang mampu dapat mengeluarkan zakatnya fitrah, zakat, dan wakaf-nya pada Ramadhan ini, dimana setiap kebaikan akan Allah lipat gandakan pahalanya.

Membayar zakat dan berwakaf pasti akan mendatangkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak. Para sahabat Rasulullah telah mencontohkan dalam laku hidup kesehariannya yang selalu berbagi berapa saja, kapan saja, dan dalam situasi apapun, sehingga seluruh hartanyapun habis untuk perjuangan agama yang dicintainya, melampaui batas-batas haul dan nishab dalam fiqh yang hanya 2,5 persen.

Mereka inilah yang oleh Al Quran disebut sebagai makhluk "an'amta alaihim" (yang telah Engkau beri nikmat), makhluk yang telah mencapai kebahagiaan tertinggi, dimana jiwa sudah tidak lagi terikat oleh harta benda yang memberatkan hidupnya. Hidupnya hanya untuk berbagi, dan kebahagiaan yang hakiki ketika semua hartanya sudah dibagikan kepada makhluk-makhluk lainnya.

Ketika para wali menyebarkan agama Islam di Jawa dan mengajarkan untuk mendapatkan kebahagiaan sejati, keutamaan hidup, dan kenikmatan yang tertinggi hanya ada pada sedekah, zakat, dan berwakaf, sehingga manusia terbebas dari nafsu serakah yang hina, kemudian para wali menggunakan media wayang yang diyakini sebagai media yang sangat tepat untuk menyampaikan risalah sedekah, zakat, dan berwakaf, mempunyai pengaruh yang sangat besar.

Ben Anderson, sejarawan, mengatakan bahwa orang Jawa itu memiliki nilai-nilai kehidupan adiluhung yang tercermin dalam pewayangan. Nilai-nilai yang terkandung dalam pewayangan tersebut menjadi pedoman hidup bagi manusia Jawa.

Dalam pewayangan hampir semua tokoh dan watak manusia tercerminkan baik dalam bentuk, warna, ukiran, suara, gerak maupun pakaiannya, semuanya mempunyai makna tersendiri. Karena wayang merupakan cerminan kehidupan manusia, maka lakonnyapun menjadi lengkap, dari mulai dewa, raja, pangeran, kesatria, tukang hasut, raksasa penjahat, maupun rakyat jelata yang biasanya digambarkan dengan Punakawan (Semar, Petruk, Bagong, dan Gareng).

Secara bahasa, Punakawan berasal dari kata "puna" (pemahaman pengertian) dan "kawan" (teman). Secara umum Punakawan berarti orang yang memahami kondisi dan situasi temannya. Punakawan adalah lambang masyarakat kelas bawah, yang karena keluguan, keikhlasan mengabdi dan berbuat tanpa pamrih, mereka menjadi penjaga keharmonisan dunia dan kehidupan serta  banyak menebar manfaat atau "Memayu Hayuning Bawono".

Para wali kemudian menyimbolkan sifat-sifat suka bersedekah, suka berzakat, dan berwakaf dalam salah seorang Punakawan, yaitu Petruk, dengan ilmunya yaitu Kantong Bolong (kantong berlubang).

Petruk yang berperawakan tinggi kurus, hidungnya panjang, mulut lebar, selalu tersenyum, matanya agak juling, jidat yang luas menggambarkan kepandaiannya, dan rambut yang dikuncir. Ia menggunakan kalung berbentuk lonceng dan juga bersenjata golok dan keris.

Menurut cerita, Petruk bernama asli Bambang Penyukilan, adalah seorang ksatria yang ganteng, kaya raya, serta mempunyai kesaktian yang luar biasa. Hanya saja, kekayaan dan kesaktiannya tidak mendatangkan kebahagiaan dalam hidupnya. Karena itu dia terus berkelana mencari orang yang sakti untuk uji tanding.

Ketika beradu kesaktian dengan Bambang Sukodadi, keduanya sama-sama kalah, dengan luka badan yang sangat parah. Keduanya kemudian dibantu disembuhkan oleh Semar, dan kemudian keduanya belajar tentang arti kehidupan dan kebahagiaan kepada Semar, Bambang Penyukilan kemudian menjadi Petruk, dan Bambang Sukodadi menjadi Gareng.

Dalam hidup selanjutnya Petruk menemukan kekayaan, kesaktian, dan kemenangan yang hakiki, yaitu dengan tidak memiliki apa-apa. Semua yang diberikan Tuhan kepadanya langsung diberikan kepada yang lainnya, sehingga tidak ada sisa sedikitpun dalam kantongnya alias "kantong bolong".

Di hari-hari terakhir bulan Ramadhan ini, sejatinya kita harus banyak merenung, bermuhasabah, introspeksi diri.

Kita membandingkan amal kita sekarang dengan amal kita beberapa waktu lalu. Kita membandingkan diri kita sebagai manusia saat ini dengan kesadaran kita sebagai manusia pada masa lalu. Sudah berapa banyak kita berbagi dengan fakir miskin pada Ramadhan ini, dibandingkan dengan Ramadhan yang lalu.

Dengan muhasabah ini, kita akan terhindar dari kesombongan dan semakin mendekatkan kita kepada rasa tawadlu (rendah hati).

Jadi teringat kepada seorang pemikir besar, Carl Gustva Jung, seorang berkebangsaan Swiss, seorang psikiater, psikolog, dan pendiri psikologi analitik mengatakan bahwa berpikir itu sangat sulit, apalagi bermuhasabah, merenung dalam artian yang dalam untuk menemukan sebuah kebenaran. Karena sulitnya untuk berpikir itu, maka kebanyakan manusia lebih memilih untuk menilai dan menghakimi.

Semoga di hari-hari terakhir ini kita akan sadar bahwa inti sosial dari puasa ini adalah berbagi kepada sesama, sehingga kita mendapatkan kekayaan, kebahagiaan, dan kemuliaan yang sejati.


*) Nanang Sumanang adalah guru Sekolah Indonesia Davao, Filipina

 

Copyright © ANTARA 2024