Jakarta (ANTARA) - Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2023-2024 telah resmi ditutup oleh Ketua DPR RI Puan Maharani, ditandai dengan pembacaan pidato penutupan dalam Rapat Paripurna DPR RI, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (4/4).

Oleh sebab itu, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Achmad Baidowi mengatakan bahwa pihaknya akan memulai harmonisasi revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) pada masa sidang yang akan datang, karena belum sempat melaksanakannya pada masa sidang yang telah ditutup oleh Ketua DPR RI tersebut.

Sementara itu, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Ubaidillah menyebut Komisi I DPR RI menargetkan revisi UU Penyiaran dapat selesai dibahas dan disetujui menjadi undang-undang pada tahun ini seiring dengan berakhirnya masa periode DPR RI 2019-2024.


Revisi UU Penyiaran

Saat ini revisi UU Penyiaran memang diperlukan dengan mempertimbangkan akses informasi yang secara fundamental telah berubah, terutama berkaitan dengan internet.

Informasi yang hadir melalui internet dinilai terdapat kepentingan ekonomi maupun algoritma informasi, sehingga masyarakat seperti ditatar terhadap apa yang perlu dilihat maupun ditonton.

Selain itu, hadirnya media baru, seperti platform digital dan siaran langsung di media sosial, dinilai perlu diatur dalam UU Penyiaran mengingat perubahan fundamental dalam mengakses informasi saat ini.

Platform digital dan media sosial disebut menawarkan nilai universal dan homogenitas, sehingga dampaknya adalah terkikisnya kebudayaan nasional. Bahkan, dapat mengikis kualitas isi siaran karena mengedepankan produk viral dan clickbait.

Oleh karena itu, revisi UU Penyiaran diperlukan, terutama untuk mengatur definisi media baru, meliputi media digital maupun media sosial, sehingga KPI atau lembaga lain yang diamanahi UU Penyiaran untuk melakukan pengawasan dapat bekerja tanpa melampaui kewenangannya.

Sementara itu, revisi UU Penyiaran dibutuhkan untuk mengatur penguatan KPI, yang meliputi hubungan KPI pusat dengan KPI daerah (KPID).

Saat ini hubungan antara KPI pusat dengan KPID hanya sebatas koordinasi saja, sehingga ke depan diharapkan bersifat struktural agar koordinasi dan penganggarannya semakin baik.

Penguatan ini dinilai penting karena KPID yang baru terdapat di 33 provinsi dinilai sedang tidak baik-baik saja, karena anggaran yang terbatas, sehingga berkegiatan yang meliputi pengawasan isi siaran, tidak dapat dilakukan secara maksimal.

Lalu, urgensi lainnya adalah terdapat kewenangan baru untuk KPI agar dapat mengaudit lembaga pemeringkatan atau rating program siaran.


Jaring aspirasi

Walaupun harmonisasi belum dilaksanakan, namun penjaringan aspirasi terus dilakukan oleh KPI pusat agar terbentuk UU Penyiaran yang bermanfaat bagi publik.

Dalam Seminar Nasional “Reposisi Media Baru dalam Diskursus Revisi Undang-Undang Penyiaran” yang dilaksanakan di Jakarta, Selasa (2/4), KPI pusat menyampaikan urgensi revisi UU Penyiaran dan menjaring aspirasi dari puluhan mahasiswa yang hadir.

Terdapat satu poin dari sejumlah aspirasi-aspirasi yang dikemukakan oleh para mahasiswa tersebut, yakni setuju bahwa revisi UU Penyiaran diperlukan, tetapi tetap memperhatikan kebebasan berekspresi. Selain itu, terdapat satu pertanyaan senada dari mereka, yaitu “revisi UU Penyiaran untuk kepentingan siapa?”

Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat Tulus Santoso menyatakan pengaturan konten isi siaran dalam revisi UU Penyiaran dilakukan demi kepentingan publik. Walaupun demikian, tidak ditampik bahwa ada penonton lain yang akan dirugikan, seperti saat film bermuatan sadis tayang di televisi.

Pembatasan adegan bermuatan sadis yang tayang di televisi disebut melindungi masyarakat yang tidak dapat menyaksikan kekerasan, meliputi anak-anak maupun remaja. Tentu saja terdapat kelompok masyarakat lain yang kecewa, karena siaran tersebut dibatasi, sehingga dinilai rugi.

Oleh sebab itu, bila negara mencoba memfasilitasi seluruh keinginan publik terhadap isi siaran, maka negara dianggap telah gagal. Hal ini dikarenakan kepentingan publik tidak hanya mengatur satu atau dua agama, dan bukan juga satu atau dua daerah saja, melainkan seluruh masyarakat Indonesia yang berjumlah sekitar 270 juta.

Sementara itu, terdapat aspirasi agar KPI dapat membatasi jumlah episode sinetron di televisi, seperti di layanan over-the-top (OTT), sehingga kualitas isi siaran dapat terjaga. Hanya saja, KPI Pusat mengatakan bahwa kewenangan untuk membatasi episode tergantung pada hasil revisi UU Penyiaran.

Kendati demikian, KPI akan meminta saran dari masyarakat terkait perlu tidaknya kewenangan untuk membatasi jumlah episode sinetron karena saat ini KPI khawatir dianggap terlalu cawe-cawe kalau mengambil kewenangan tersebut.

Saat ini, jumlah episode sinetron di televisi bisa mencapai ratusan, bahkan ribuan episode, sedangkan jumlah episode serial di layanan OTT atau platform media baru hanya belasan atau puluhan episode.


Catatan akademisi

Pengamat sekaligus akademisi bidang media dan jurnalisme dari Universitas Padjadjaran Dadang Rahmat Hidayat mengatakan bahwa dirinya sepakat dengan sejumlah poin yang perlu diatur dalam revisi UU Penyiaran.

Pertama, hubungan antara KPI pusat dan KPID memang perlu diperkuat agar KPID mendapatkan dukungan anggaran untuk melakukan pengawasan isi siaran maupun kewenangan-kewenangan lainnya.

Berikutnya, pengaturan definisi media baru perlu diatur agar KPI mendapatkan kejelasan dalam melaksanakan tugas seiring dengan pertumbuhan media baru, seperti layanan OTT. Meskipun demikian, pengawasan terhadap isi siaran media sosial dinilai belum dibutuhkan.

Pengawasan media baru diperlukan agar lembaga penyiaran konvensional tidak merasa diawasi secara ketat, tetapi media baru tidak, sehingga terdapat keluhan-keluhan nantinya.

Terakhir, audit lembaga pemeringkatan atau rating program siaran memang diperlukan dengan tujuan agar hasilnya dapat dipertanggungjawabkan, sehingga dapat menguatkan kualitas isi siaran, meskipun lembaga rating tersebut bukan termasuk lembaga publik.

Sementara itu, terkait kewenangan pembatasan jumlah episode dinilai belum dibutuhkan dan dianggap terlalu teknis. Hal terpenting saat ini adalah bagaimana KPI mengawasi isi siarannya, sesuai dengan aturan penyiaran.
 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024