Pekalongan (ANTARA) - Tradisi pemotongan lopis raksasa sangat erat kaitannya dengan perayaan Lebaran oleh masyarakat Kota Pekalongan, Jawa Tengah, karena agenda itu dilaksanakan setelah hari ke-7 pada bulan Syawal.

Tradisi potong lopis raksasa tersebut, tepatnya dilaksanakan di dua lokasi yaitu Kelurahan Krapyak Lor dan Krapyak Kidul, Kecamatan Pekalongan Utara.

Tradisi syawalan dengan memotong lopis raksasa ini menjadi hal yang paling ditunggu oleh warga baik dari Kota Pekalongan sendiri maupun warga daerah lain karena mereka ada yang percaya bahwa dengan mendapatkan sepotong makanan tersebut maka akan mendapat keberkahan.

Selain itu, hal yang utama dari tujuan penyelenggaraan tradisi potong lopis raksasa atau festival lopis raksasa tersebut adalah sebagai simbol untuk mempererat tali silaturahim antarwarga yang berasal dari berbagai daerah.

Ribuan orang dari berbagai daerah berupaya mendapatkan lopis raksasa pada perayaan tradisi syawalan yang diselenggarakan oleh remaja mushala Kelurahan Krapyak itu.

Mereka rela berdesakan demi mendapatkan potongan jajanan yang terbuat dari bahan baku beras ketan dan campuran kelapa parutan tersebut. Selain itu, pembungkus makanan terbuat dari ketan yaitu daun pisang pun tidak luput diperebutkan.

Seperti halnya, tradisi potong lopis raksasa yang memiliki ukuran berat 2.018 kilogram, tinggi 232 sentimeter, dan diameter 250 sentimeter di Kampung Krapyak Kidul dan yang dibuat oleh remaja Krapyak Lor dengan berat 2.352 kilogram, tinggi 198 sentimeter, dan diameter 85 sentimeter sejak Rabu pagi (17/4) sudah dinanti oleh ribuan orang dari berbagai daerah seperti Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan, bahkan Pemalang.

Mereka rela antre karena acara tradisi potong lopis raksasa harus menunggu Wali Kota Pekalongan maupun para sesepuh dan tokoh agama akan memberikan wejangan kepada para pengunjung.

Dalam uraian wejangan sesepuh maupun tokoh agama menyampaikan warga tidak melakukan tindakan musyrik atau menyekutukan Allah Swt. setelah mendapatkan sepotong lopis maupun daun pisang sebagai pembalut makanan itu.

Namun, hal yang penting dalam tradisi itu, masyarakat diminta agar memaknai kegiatan itu sebagai ajang silaturahim sekaligus untuk menjaga persatuan.

Lopis merupakan makanan berbahan dasar ketan dan campuran kelapa yang memiliki daya tarik dan nilai filosofi budaya yaitu persatuan dan kesatuan seperti tertuang dalam sila ketiga Pancasila.

Makanan lopis memiliki makna persatuan karena terbuat dari bahan beras ketan yang mempunyai daya rekat yang kuat dibanding nasi setelah direbus.

Warna beras ketan yang putih bersih juga memiliki makna kesucian (kembali fitri) dalam suasana Lebaran.

Adapun bungkus lopis berupa daun pisang melambangkan bahwa Islam selalu menumbuhkan kebaikan dan menjaga karunia Tuhan.

Kemudian untuk ikatan atau tali pembungkus lopis menggunakan serat pelapah pisang, melambangkan kekuatan bahwa sesuatu yang sudah dicapai (kembali fitri) harus dijaga supaya tidak luntur apalagi berkurang.

"Festival lopis raksasa ini perlu dijaga dan dipelihara bersama sebagai tradisi dan budaya turun-temurun yang dimaksudkan untuk mempererat tali silaturahim," kata Wali Kota Pekalongan Afzan Arslan Djunaid.


Sejarah tradisi potong lopis

Terdapat dua pendapat mengenai asal mula terjadinya tradisi potong lopis yaitu pertama berdasar pendapat KH Zainudin Ismail, salah seorang tokoh setempat yang sudah dilaksanakan sejak tahun 1855 dan dicetuskan oleh salah seorang ulama Krapyak KH Abdullah Siradj.

Kala itu, KH Abdullah Siradj melakukan puasa Syawal satu hari setelah Lebaran selesai. Karena ia menjadi panutan di kampung itu maka warga Krapyak mengikuti jejaknya dengan menjalani puasa Syawal.

Lama kelamaan, masyarakat Pekalongan di luar Krapyak pun mengikuti kebiasaan puasa tersebut dengan tidak saling berkunjung pada saat puasa dijalankan.

Setelah usai menjalani puasa Syawal, KH Abdullah Siradj bersama dengan penganut agama Islam membuat lopis dalam ukuran kecil untuk dihidangkan kepada tamu-tamu yang singgah ke tempat mereka.

Namun, karena tamu makin banyak, mereka membuat ide untuk membuat sebuah acara dimana dibuat lopis berukuran raksasa agar dapat dihidangkan pada banyak orang.

Kemudian pendapat kedua disampaikan pemerhati sejarah dan budaya asal Pekalongan Dirhamsyah, yang menyampaikan bahwa tradisi lopis raksasa tidak ada kaitannya dengan KH Abdullah Siradj karena tempo dan jarak waktunya terlalu lama.

Tradisi lopis raksasa dapat terjadi karena masyarakat Pekalongan tergerak hatinya setelah mendengar pidato dari Presiden Soekarno pada tahun 1950.

Pada saat itu, Presiden Soekarno sedang menghadiri rapat akbar di Lapangan Kebon Rodjo (sekarang tugu monumen) berpesan kepada masyarakat Pekalongan agar selalu bersatu dan erat, halnya halnya lopis.

Sebagai upaya melanggengkan tali silaturahim maupun menjaga persatuan, masyarakat Kota Pekalongan, khususnya warga Kelurahan Krapyak menyelenggarakan tradisi syawalan dengan membuat lopis raksasa itu setiap sepekan hari Lebaran.

Hal yang penting, dalam acara festival potong lopis raksasa itu, masyarakat diajak tidak mengultuskan lopis yang merupakan jajanan biasa bukan dijadikan sebuah makanan yang dianggap mempunyai khasiat, seperti bisa menyembuhkan penyakit atau gangguan kesehatan lainnya.

Oleh karena itu, ketika seseorang sakit, tetap berobat ke dokter atau ke rumah sakit, bukan menjadikan makanan tradisional itu sebagai obat.

Dari tradisi itu, masyarakat perlu mengambil makna positif dari sebuah perayaan tradisi syawalan sebagai perekat tali silaturahmi maupun menjaga persatuan dan kesatuan.


 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024