Kigali (ANTARA) - Dalam sebuah upacara di monumen Kigali Genocide Memorial pada Minggu (7/4) pekan lalu, Presiden Rwanda Paul Kagame dan Ibu Negara Jeannette Kagame menyalakan obor peringatan, sebuah api peringatan yang akan menyala selama 100 hari untuk mengenang tragedi yang terjadi tiga dekade silam.

Pada 7 April 1994, Rwanda jatuh ke dalam kegelapan saat hampir 1 juta penduduk Rwanda, sebagian besar dari etnis Tutsi, menjadi korban kebrutalan selama tiga bulan. Milisi Hutu melancarkan gelombang teror, melakukan pemukulan, penyiksaan, pemerkosaan, dan pembunuhan terhadap warga sipil Tutsi, termasuk banyak wanita dan anak-anak.

Genosida tersebut, yang memecah belah Hutu dan Tutsi, dua komunitas dengan bahasa dan agama yang sama, berakar pada kebijakan kolonial negara-negara Barat. Benih-benih perpecahan disebarkan melalui skema kolonial "politik adu domba".

Terletak di jantung Afrika, Rwanda dikenal sebagai "negeri seribu bukit". Pemandangannya yang menakjubkan menyuguhkan perbukitan yang dihiasi danau-danau yang tenang dan sungai berkelok yang menjadi sumber kehidupan bagi pepohonan rimbun.

Komunitas Hutu dan Tutsi telah lama hidup berdampingan sebagai kelompok etnis yang dominan. Etnis Hutu, yang sebagian besar adalah kaum agraris, merupakan kelompok mayoritas di Rwanda, sementara etnis Tutsi, yang merupakan kelompok minoritas yang cukup besar, secara tradisional terlibat dalam penggembalaan ternak. Selama beberapa generasi, kedua komunitas ini saling berbaur, tinggal di pemukiman campuran dan sering kali melangsungkan pernikahan.

"Sebelum kedatangan penjajah, orang Rwanda hidup dalam keharmonisan, dengan Hutu, Tutsi, dan Twa masing-masing memainkan perannya dalam masyarakat," kata Jean-Baptiste Gasominari, seorang analis politik Rwanda.

Nasib Rwanda berubah drastis dengan kedatangan penjajah Eropa, yang dimulai dari Jerman dan kemudian Belgia pada akhir abad ke-19. Dengan menggunakan tipu muslihat klasifikasi rasial, para penjajah itu menghancurkan keharmonisan yang telah berlangsung lama di antara kedua kelompok etnis tersebut.
 
Seorang wanita mengunjungi Kigali Genocide Memorial di Kigali, Rwanda pada 8 April 2024. (Xinhua)
 


Melalui taktik yang tercela ini, bangsa Eropa menganggap diri mereka lebih unggul dibandingkan bangsa Afrika, menyebut orang Tutsi, yang memiliki ciri-ciri fisik yang lebih mirip dengan bangsa Eropa, sebagai "ras unggul" dan menjadikan mereka sebagai perwakilan untuk pemerintah

Para antropolog Barat, dalam upaya mereka untuk melakukan kategorisasi dan pengendalian, mengamati tengkorak, fitur wajah, dan tipe tubuh penduduk asli tersebut. Perbedaan kecil, seperti panjang dan lebar hidung, dianggap sebagai penanda etnis. Alhasil, sejak tahun 1933, pemerintah kolonial Belgia memberlakukan pelabelan etnis yang memecah belah penduduk Rwanda sebagai "Hutu" atau "Tutsi" pada kartu identitas mereka.

"Kalian tidak dapat membedakan kami, bahkan kami pun tidak dapat membedakan kalian," kata Laurent Nkongoli, yang saat itu menjabat sebagai wakil presiden Majelis Nasional, yang merupakan seorang Tutsi, kepada penulis Amerika Philip Gourevitch, bahwa dirinya diperlakukan sebagai "salah satu dari mereka" di sebuah pemukiman Hutu.

"Hutu dan Tutsi pernah menjadi kelas sosial, tetapi penjajah mengubah identitas ini menjadi alat politik," kata Ladislas Ngendahimana, sekretaris jenderal Asosiasi Otoritas Pemerintah Daerah Rwanda (Rwanda Association of Local Government Authorities).

Perpecahan 

Mahmood Mamdani, seorang akademisi asal Uganda, menyelidiki taktik yang digunakan oleh kekuatan kolonial yang dikenal sebagai sistem pemerintahan tidak langsung, sebuah taktik yang tidak bertujuan untuk menghapuskan, melainkan untuk mendefinisikan kembali perbedaan yang ada antara penakluk dan yang ditaklukkan.

Awalnya, para penjajah berusaha untuk mengontrol secara langsung daerah jajahan mereka, tetapi mereka menghadapi perlawanan keras yang berakar pada tradisi sosial yang sudah mengakar.

Henry Maine, seorang pakar hukum Inggris, merancang skema keji "politik adu domba" untuk menyelamatkan otoritas Inggris di India. Pendekatan Machiavellian mengeksploitasi perpecahan yang ada di antara penduduk lokal berdasarkan ras, bahasa, budaya, dan agama. Dengan menunjuk kelompok-kelompok tertentu dan membina para elit pribumi agar menjalankan pemerintahan kolonial untuk kepentingan mereka, para penjajah bermaksud untuk menjauhkan kebencian dari mereka.

Praktik ini kemudian diadopsi di seluruh dunia, mulai dari Semenanjung Malaya yang dikuasai Inggris dan Indonesia yang dikuasai Belanda, dan secara bertahap meluas ke Mesir, Sudan, dan negara-negara Afrika lainnya.

Namun, "politik adu domba" berevolusi lebih dari sekadar polarisasi penduduk asli; hal ini berubah menjadi upaya yang disengaja untuk mendefinisikan kembali Afrika. Kekuatan Barat mengarang narasi, memalsukan budaya tradisional, dan memutarbalikkan kebenaran sejarah untuk membuktikan dominasi mereka.

Di Rwanda, manipulasi kolonial tersebut memanifestasikan perlakuan istimewa terhadap etnis Tutsi dalam bidang militer dan politik, sembari secara sistematis menekan etnis Hutu. Dominasi Tutsi ditegakkan, dengan kepala etnis Hutu diganti dan kesempatan pendidikan dibatasi untuk pemuda Hutu.

"Penjajah tidak hanya memperparah perpecahan, tetapi mereka menciptakannya," kata Gasominari. "Sulit bagi penjajah untuk menindas sebuah negara yang bersatu dan damai, sehingga mereka memecah belah negara-negara Afrika, melemahkan kami, serta mengambil mineral dan emas kami."

Pewarta: Xinhua
Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2024