Kigali (ANTARA) - Setelah Perang Dunia II, pemerintahan kolonial Belgia, yang merasakan gelombang sentimen antikolonial, berupaya menyelaraskan diri dengan populasi Hutu yang berkembang pesat kala itu, sembari memosisikan diri mereka sebagai penengah dalam ketegangan etnis yang meningkat.

"Pertempuran terakhir antara kaum terjajah melawan penjajah sering kali menjadi pertarungan antara kaum terjajah itu sendiri," kata Frantz Fanon, seorang penulis dan revolusioner Perancis.

Pada 1959, "revolusi sosial" pecah di Rwanda, ketika kebencian warga etnis Hutu memuncak menjadi kekerasan terhadap etnis Tutsi. Ratusan ribu warga etnis Tutsi, termasuk Paul Kagame yang berusia dua tahun, terpaksa diasingkan.

Ketika pemerintah Belgia kehilangan kekuasaan, mereka memberikan dukungan kepada warga etnis Hutu, membuka jalan bagi kemenangan gemilang mereka dalam pemilihan lokal tahun 1960.

Setelah kemerdekaannya pada 1962, pemerintah baru Rwanda mengusir warga etnis Tutsi dari dunia politik, melarang mereka mendapatkan pendidikan tinggi dan pekerjaan yang menguntungkan.

Jacqueline Mukamana, seorang warga etnis Tutsi yang selamat dari Genosida tahun 1994, mengenang masa ketika dia menyadari identitasnya: "Saya tidak menyadari bahwa saya adalah warga etnis Tutsi sampai saya menghadapi diskriminasi di sekolah, dengan kebijakan yang berpihak pada anak-anak etnis Hutu."

Pada Oktober 1990, Front Patriotik Rwanda (Rwanda Patriotic Front/RPF), yang terdiri dari warga etnis Tutsi yang diasingkan dari Uganda, bentrok dengan pasukan pemerintah Rwanda, menuntut hak mereka untuk kembali ke rumah dan diakui sebagai warga negara Rwanda.

Di tengah meningkatnya ketegangan, aktor eksternal semakin memperumit situasi. Prancis, yang bersaing untuk mendapatkan pengaruh di Afrika, memberikan dukungannya kepada rezim Hutu yang pro-Prancis, menyediakan senjata dan pelatihan untuk menumpas pasukan Tutsi, yang memiliki hubungan dekat dengan bekas jajahan Inggris seperti Uganda.

Pada Agustus 1993, pemerintah Rwanda, dipimpin oleh Presiden Hutu Juvenal Habyarimana, dan RPF menandatangani Perjanjian Arusha untuk mengatasi isu-isu penting seperti pembagian kekuasaan dan repatriasi pengungsi dalam upaya mengakhiri perang saudara yang berkepanjangan.

Pada 6 April 1994, pembunuhan tragis Habyarimana dan Presiden Burundi Cyprien Ntaryamira dalam kecelakaan pesawat di dekat bandara Kigali menjadi katalisator yang memicu konflik di Rwanda, menjerumuskan negara tersebut ke dalam masa-masa tergelapnya.

Dalam kekacauan setelah jatuhnya pesawat kepresidenan, ekstremis Hutu dengan segera merebut kendali dan membentuk pemerintahan sementara. Di seluruh Kigali, unit tentara dan milisi Hutu memasang penghalang jalan, memeriksa dengan seksama klasifikasi rasial yang tercantum pada kartu identitas penduduk.

Pembantaian yang direncanakan dimulai. Gelombang udara dipenuhi dengan siaran penuh kebencian dari Radio Television Libre des Mille Collines (RTLM) yang menjelek-jelekkan Tutsi sebagai "kecoak" dan mendorong Hutu untuk "menebang pohon-pohon tinggi".

Kengerian ini dengan cepat menyebar ke seluruh negara itu, saat pembauran antarwarga desa selama bertahun-tahun membuat mereka sangat sadar akan identitas etnis tetangga mereka. Warga etnis Tutsi yang mencari tempat berlindung di ladang, hutan, rawa, dan bukit tidak menemukan perlindungan dari serangan gencar yang tiada henti.

"Saya kehilangan 65 anggota keluarga. Pada akhirnya kami berhasil menemukan dan menguburkan 21 orang di antaranya," kenang Mukamana yang melarikan diri dan kembali untuk menyaksikan pembantaian mengerikan yang dialami keluarganya.

Bersama para penyintas lainnya, dia mengungsi untuk mencari perlindungan di Gereja Nyamata yang berada di dekatnya, yang dipenuhi oleh warga sipil yang ketakutan dan putus asa. "Kami pikir tidak akan ada yang akan membunuh orang di dalam gereja, namun tak lama kemudian, milisi datang dan menyerangnya dengan granat dan senjata."

Selama 100 hari, Rwanda terperosok ke dalam pusaran kekerasan dan keputusasaan. Darah mengalir deras, menodai rumah, ladang, dan jalan-jalan dengan bukti genosida yang keji. Infrastruktur publik hancur, dan momok kematian semakin menghantui, memberikan gambaran kelam bagi negara ini.

Keluhan seorang penyintas terpampang di dinding ruang pameran di Kigali Genocide Memorial Center: "Ketika mereka mengatakan 'Tidak akan terjadi lagi' setelah Holocaust, apakah ini dimaksudkan untuk sebagian orang dan bukan untuk yang lainnya?"

"Komunitas internasional lah yang mengecewakan kita semua, baik karena penghinaan atau kepengecutan," tutur Kagame dalam pidatonya pada upacara peringatan 30 tahun genosida tersebut.

"Jika kita bicara soal komunitas internasional, pada dasarnya yang dimaksud adalah negara-negara adidaya, dunia Barat," ujar Ngendahimana.

Ketika tragedi itu terjadi pada 1994, para pejabat Amerika Serikat (AS) ragu-ragu untuk menggunakan istilah "genosida", dan menghindari kewajiban hukum yang akan timbul berdasarkan Konvensi Genosida yang diadopsi oleh PBB.

Seperti yang dikatakan oleh Presiden AS kala itu, Bill Clinton, dalam pidatonya selama insiden 100 hari tersebut: "Apakah kita pada akhirnya akan terlibat dalam konflik etnis mana pun di dunia harus dipertimbangkan berdasarkan kepentingan nasional AS secara keseluruhan."

Pada Juli 1994, ketika RPF yang dipimpin Kagame menguasai Kigali dan seluruh negara itu tak lama setelahnya, tragedi 100 hari tersebut berakhir.

Namun, meski Rwanda sedang bergulat dengan dampak genosida, gaung kolonialisme terus bergema di seluruh benua Afrika.

Ngendahimana mengatakan bahwa perpecahan yang disebabkan oleh pemerintahan kolonial masih berdampak buruk terhadap negara-negara Afrika. "Kami dipaksa menolak nilai-nilai, bahasa, serta identitas kami sendiri dan dipaksa menganut identitas asing, dan warisan kolonial ini telah memicu konflik dan perang di negara-negara Afrika seperti Nigeria, Kamerun, Somalia, Sudan, dan lainnya."

Pewarta: Xinhua
Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2024