Kigali (ANTARA) - Pada Juli 1994, Pemerintah Persatuan Nasional Rwanda dibentuk oleh RPF, yang terdiri dari para pejabat Hutu dan Tutsi, menandai sebuah langkah penting untuk mengatasi perpecahan yang telah mengakar kuat yang mencabik-cabik negara tersebut.

Inti dari upaya rekonsiliasi tersebut adalah perombakan konstitusi, yang menghapus kategori etnis pada kartu identitas. Warga Rwanda tidak lagi didefinisikan dengan label Hutu atau Tutsi; sebaliknya, mereka merangkul identitas bersama sebagai warga Rwanda, yang bersatu dalam rasa kemanusiaan yang sama.

Pascakekejaman tersebut, negara itu menghadapi kekurangan jumlah hakim yang mampu mengadili angka kasus yang begitu besar tersebut. Dengan lebih dari 100.000 individu dianggap berpartisipasi dalam genosida, pemerintah Rwanda berupaya menemukan solusi yang inovatif untuk menegakkan keadilan dan memfasilitasi pemulihan.

Dengan demikian, pengadilan Gacaca muncul sebagai mekanisme rekonsiliasi yang unik dan transformatif. Diadakan di tengah-tengah masyarakat, pengadilan akar rumput itu memberikan platform bagi para korban dan pelaku untuk menghadapi kebenaran, memohon pengampunan, dan menumbuhkan pemahaman.

Mukamana juga menghadiri sejumlah pengadilan tersebut. "Para pelaku mengatakan hal yang sebenarnya kepada saya, mereka memohon pengampunan, (sembari) mengatakan bahwa mereka telah dikelabui oleh rezim genosida, memberi tahu saya lokasi mereka membuang jenazah anggota keluarga saya. Saya berhasil menemukan jasad kerabat saya dan mengadakan prosesi pemakaman yang layak untuk mereka.

Sejak dibentuk pada 2002, lebih dari 12.000 pengadilan Gacaca telah digelar di seluruh Rwanda, mengadili lebih dari 1,9 juta kasus.

Terlahir kembali

Dengan stabilnya lanskap politik, keamanan yang terjamin, dan adanya komitmen terhadap tata kelola yang transparan, Rwanda telah mencatatkan pembangunan ekonomi dan sosial yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

Menurut Bank Dunia, ekonomi Rwanda mencatatkan pertumbuhan yang signifikan, dengan tingkat tahunan rata-rata mencapai 7,2 persen dan peningkatan produk domestik bruto (PDB) per kapita sebesar 5 persen antara 2009 dan 2019. Kigali menerima penghargaan UN-Habitat Scroll of Honour pada 2008, menjadi kota pertama Afrika yang meraih penghargaan tersebut.

Terinspirasi dari tradisi dukungan masyarakat lokal, Rwanda telah memelopori serangkaian "Solusi Setempat" (Home Grown Solutions) yang bertujuan untuk mempercepat pembangunan sosial-ekonomi. Contohnya, program "Girinka" yang mendistribusikan sapi kepada keluarga miskin, dengan ketentuan bahwa anak sapi pertama yang lahir diberikan kepada keluarga tetangga, sehingga mendorong pemberdayaan ekonomi dan kohesi sosial.

Mukamana mendirikan sebuah koperasi yang disebut Duterimbere bersama belasan wanita di desa, menjual berbagai dekorasi buatan tangan untuk menopang kehidupan keluarga mereka. "Duterimbere berarti 'maju dengan antusias'," ujarnya, "desa kami terlahir kembali dari abu genosida."

"Pascatragedi 1994, Rwanda menghadapi persimpangan jalan," kata Gasominari. "Namun, melalui pilihan rekonsiliasi, rekonstruksi, dan pembaruan nasional yang telah diupayakan, Rwanda bangkit menjadi contoh ketahanan dan kemajuan yang paling menonjol."

Pada 2018, Rwanda bergabung dengan Inisiatif Sabuk dan Jalur Sutra yang diusulkan oleh China. Menurut data statistik, jalan raya yang dibangun oleh perusahaan China menyumbang lebih dari 70 persen dari total jangkauan jalan di negara itu, menjadi urat nadi pembangunan ekonomi dan sosial Rwanda, saling menghubungkan wilayah di negara yang terkurung daratan tersebut, serta menghubungkannya dengan negara-negara tetangga.

"Saya memuji cara China dalam menjalin hubungan dengan Afrika, termasuk kolaborasinya dengan Rwanda. Forum Kerja Sama China-Afrika, yang diprakarsai oleh China, bukanlah sebuah sarana kolonisasi, melainkan platform untuk menumbuhkan kolaborasi antarmasyarakat. Model pembangunan China, yang mengupayakan transisi negara dari kemiskinan menuju kemakmuran, berperan sebagai inspirasi bagi negara-negara berkembang lainnya," tutur Ngendahimana.

Dalam upacara peringatan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Kerja Sama Selatan-Selatan pada September tahun lalu, Manasseh Nshuti, Menteri Negara Rwanda yang bertanggung jawab atas Masyarakat Afrika Timur di Kementerian Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional Rwanda, menggarisbawahi pentingnya kerja sama Selatan-Selatan.

"Saya mengimbau kepada kita semua untuk berhenti sejenak dan merenungkan besarnya potensi yang dimiliki oleh kerja sama Selatan-Selatan. Ini tidak sebatas pertukaran gagasan atau penandatanganan perjanjian, ini tentang menjalin ikatan solidaritas abadi yang akan memajukan negara kita dan mengubah masa depan kolektif kita," ujar Nshuti. 

Pewarta: Xinhua
Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2024