"Kita harus memperbaiki sistem penyelenggaraan pemilu mulai dari pencegahan kemudian bagaimana penanganan (tindak pidana kekerasan seksual) dan bagaimana memulihkan kondisi ini,"
Jakarta (ANTARA) - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengatakan bahwa sistem penyelenggaraan pemilu perlu diperbaiki.

"Kita harus memperbaiki sistem penyelenggaraan pemilu mulai dari pencegahan kemudian bagaimana penanganan (tindak pidana kekerasan seksual) dan bagaimana memulihkan kondisi ini," kata Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi dalam diskusi publik daring yang disaksikan dari Jakarta, Jumat.

Hal itu Siti sampaikan untuk menanggapi Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy'ari yang dilaporkan kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI terkait dugaan tindakan asusila.

Sementara itu, Siti mengatakan bahwa selain perbaikan terhadap sistem penyelenggaraan pemilu, maka dirinya merekomendasikan agar kekerasan terhadap perempuan harus direspons dengan baik.

"Isu dugaan kekerasan seksual ini tidak hanya bisa dilihat pada persoalan atasan bawahan. Tidak hanya bisa dianalisa laki-laki perempuan, tetapi karena ini ada di dalam sistem penyelenggaraan pemilu, maka ini juga dikaitkan dengan kekerasan terhadap perempuan di dalam penyelenggaraan pemilu yang harus kita respons dengan baik agar demokrasi kita terjaga," ujarnya.

Selain itu, ia meminta semua pihak untuk mendukung korban maupun pendamping korban yang melaporkan Hasyim untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan. Ia juga merekomendasikan agar Hasyim tidak mendapatkan impunitas.

"Namun, konteks kasus ini sendiri mungkin kita harus menunggu terlebih dahulu, ya, karena ini masih berproses juga di DKPP. Apakah ada hambatan keadilan pada hal-hal yang diperlukan?" katanya.

Adapun ia menjelaskan baik Komnas Perempuan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), maupun Komisi Nasional Disabilitas (KND) sedang membicarakan dan mendiskusikan kasus tersebut.

Sebelumnya, Hasyim Asy'ari dilaporkan kepada DKPP pada Kamis (18/4) oleh Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum dan Pilihan Penyelesaian Sengketa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKBH-PPS FH UI) dan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK).

Kuasa Hukum korban Maria Dianita Prosperianti menjelaskan perbuatan Hasyim sebagai teradu termasuk dalam pelanggaran kode etik berdasarkan Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum.

Maria mengatakan bahwa dalam pelaporan kepada DKPP RI telah disampaikan sejumlah bukti yang menunjukkan pelanggaran kode etik oleh Hasyim. Ia menyebut Hasyim mementingkan kepentingan pribadi untuk memuaskan hasrat seksualnya.

"Sudah ada beberapa belasan bukti, ya, seperti screenshot (tangkapan layar) percakapan, foto, dan video, serta juga bukti-bukti. Tadi sudah saya jelaskan, bukti ini bisa menunjukkan benar-benar yang terstruktur, sistematis, dan aktif, dan di sini juga teradu juga memberikan manipulasi informasi serta juga menyebarkan informasi rahasia untuk menunjukkan kekuasaannya," jelasnya.

Ia juga mengatakan bahwa perbuatan yang dilakukan Hasyim kepada korban menunjukkan adanya perbuatan yang berulang. Oleh sebab itu, ia berharap DKPP RI tidak hanya memberikan peringatan keras untuk kasus yang melibatkan kliennya.

"Ada perkara yang serupa, tetapi mungkin sedikit berbeda terkait dengan yang dialami oleh wanita emas. Ini yang sudah juga dijatuhi sanksi peringatan keras terakhir. Jadi setelah ada putusan dari DKPP seharusnya memang target kami adalah sanksi yang diberikan tidak lagi peringatan lagi, tetapi adalah penghentian," katanya.

Pewarta: Rio Feisal
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2024