KPK saja berani menangani kasus apa saja, masa Kejati Sulsel tidak berani, meski hanya sekedar memberikan informasi seluas-luasnya kepada masyarakat mengenai perkembangan dana Bansos Sulsel itu."
Makassar (ANTRAA News) - Anti Corruption Committe mengatakan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan harus berani seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengungkap dan menginformasikan perkembangan kasus dana Bantuan Sosial Pemerintah Provinsi sebesar Rp8,8 miliar kepada publik.

"KPK saja berani menangani kasus apa saja, masa Kejati Sulsel tidak berani, meski hanya sekedar memberikan informasi seluas-luasnya kepada masyarakat mengenai perkembangan dana Bansos Sulsel itu," tegas Direktur Anti Corruption Committe (ACC) Abdul Muthalib di Makassar, Senin.

Ia mengatakan, kurang terbukanya akses wartawan untuk menerima informasi mengenai perkembangan kasus dugaan korupsi dana Bansos Sulsel tahun 2008 sebesar Rp8,8 miliar itu menjadi tanda tanya besar.

Apalagi dengan gencarnya pemberitaan dana Bansos yang mengusut keterkaitan para penerimanya dimana hampir seluruh penerima bansos yang bermasalah itu adalah anggota DPRD Sulsel dan DPRD Makassar, baik yang masih aktif maupun yang sudah tidak aktif lagi.

"Wartawan yang mewakili medianya, LSM serta publik menjalankan tugas dan fungsinya yakni pengawasan dan kontrol terhadap lembaga-lembaga penegak hukum maupun lembaga pemerintah lainnya," katanya.

Mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar itu menyatakan jika semua elemen tersebut mempunyai peran dan fungsi kontrol terhadap lembaga hukum yang diatur dalam Undang Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Makanya, dirinya sangat heran ketika mengetahui jika penyidikan kasus bansos akhir-akhir ini mulai tertutup kepada media maupun publik, apalagi penyidikannya sudah mulai mengerucut kepada legislator dan eksekutif.

"Wartawan itu merupakan perpanjangan dari masyarakat karena publik juga menjadikan media sebagai salah satu sumber rujukan untuk mengetahui semua perkembangan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga hukum dalam melakukan pengusutan maupun penyidikan kasus-kasus korupsi," ujarnya.

Karena itu, dirinya meminta kepada pimpinan Kejati Sulselbar untuk membuka ruang kepada media maupun LSM yang ingin mengetahui perkembangan kasus dana Bansos ataupun perkara korupsi lainnya yang menyita perhatian publik.

"Sangat naif lah jika harus menutup akses, KPK aja yang mengusut kasus korupsi yang nilai kerugian negaranya jauh lebih besar dari kasus bansos itu berani, apalagi KPK juga mengusut dan memeriksa para pejabat tinggi negara. Kejati harus mengikuti KPK supaya bisa dipercaya juga masyarakat," jelas Abdul Muthalib.

Sebelumnya, Kejati Sulselbar kembali membuka penyidikan kasus Bansos Sulsel 2008 itu setelah Sekretaris Provinsi Sulsel Andi Muallim ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Kejati setelah adanya supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi beberapa pekan lalu.

Penetapan tersangka baru yakni Sekprov Sulsel Andi Muallim sebagai tersangka karena bersama-sama dengan terpidana Anwar Beddu merugikan keuangan negara.

Penetapan Muallim yang merupakan pamong senior di Sulawesi Selatan bertindak selaku kuasa pengguna anggaran (KPA) dinilainya turut bertanggungjawab dalam setiap pencairan anggaran dana Bansos yang telah merugikan negara itu.

Sejak kasus ini bergulir di kejaksaan, Anwar Beddu dan Andi Muallim dinilainya telah memperkaya diri sendiri, orang lain ataupun korporasi yang diperkuat dalam fakta-fakta penyidikan maupun persidangan.

Peranan Muallim yang sebagai kuasa pengguna anggaran itu terbukti telah menyetujui setiap pencairan maupun pemberian dana bantuan sosial kepada lembaga penerima itu tidak berbadan hukum alias fiktif.

Persetujuan pemberian dana bansos kepada setiap penerima itu dilakukan tanpa didasari verifikasi terhadap 202 lembaga penerima guna memastikan kebenaran dan keberadaan lembaga penerima tersebut.

Andi Muallim yang telah menyetujui semua lembaga penerima itu kemudian langsung diteruskan kepada bendahara dengan mengeluarkan dana bansos tersebut.

Bendahara sendiri saat mencairkan dan menyerahkan kepada 202 lembaga penerima itu dinilai lalai karena tidak melakukan penelitian dan pemeriksaan sehingga merugikan keuangan negara.  (MH/R010)

Pewarta: Muh Hasanuddin
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013