Banyuwangi (ANTARA News) -  Selain budaya, Banyuwangi juga menyimpan potensi keindahan alam yang luar biasa dan eksotis untuk daya tarik wisata. Bahkan, ada tiga destinasi wisata unggulan yang dijuluki "Triangle Diamonds" (Segitiga Berlian).

Disebut Segitiga Berlian, karena jika dari tiga tempat wisata yang memiliki keunikan masing-masing itu ditarik garis lurus, akan terbentuk sebuah segitiga yang menghubungkan satu dengan yang lainnya.

Adapun ketiga destinasi wisata unggulan Banyuwangi itu adalah Pantai Sukamade, Pantai Plengkung dan Kawah Ijen.

Pantai Sukamade yang terletak sekitar 97 kilometer ke arah barat daya dari kota Banyuwangi merupakan salah satu lokasi penangkaran penyu. Sementara Pantai Plengkung atau wisatawan asing menyebutnya "G-Land" adalah surga bagi penggemar surfing dunia karena ketinggian ombaknya yang menantang.

Sedangkan Kawah Ijen merupakan tempat eksotis yang berada pada ketinggian 2.386 meter di atas permukaan laut dengan pemandangan kawah danau berwarna terbesar di Pulau Jawa.

Satu pemandangan paling dicari wisatawan asing, khususnya dari Eropa di Kawah Ijen adalah "blue fire". Fenomena alam api biru yang tercipta melalui semburan belerang cair itu, konon hanya ada dua di dunia, yakni di Kawah Ijen dan Islandia.

"Daya tarik Kawah Ijen memang dari blue fire-nya itu. Turis-turis asing dari Eropa seperti Jerman, Prancis dan Swiss paling suka. Mereka biasanya naik ke Ijen pada malam hari hingga matahari terbit baru kembali turun," kata pengurus Badan Promosi Pariwisata Jatim, Bambang Priyambodo.

Untuk bisa menyaksikan fenomena alam langka tersebut, turis mancanegara biasanya ramai mengunjungi Kawah Ijen saat memasuki musim kemarau sekitar bulan Mei hingga Oktober.

Sejak 2012, Pemkab Banyuwangi melakukan perbaikan infrastruktur jalan menuju kawasan wisata Kawah Ijen, setelah menjadikan destinasi tersebut sebagai ikon lomba balap sepeda internasional "Tour de Ijen".

"Perbaikan infrastruktur jalan menjadi fokus kami dalam menopang sektor pariwisata. Dulu jalan menuju Ijen rusak parah dan sulit dilalui, sekarang kondisinya sudah mulus dengan aspal hotmix," kata Abdullah Azwar Anas.

Ia mengungkapkan bahwa setiap tahun ada lebih kurang 300 kilometer infrastruktur jalan yang dibangun dan diperbaiki dengan anggaran miliaran rupiah dari APBD.

"Selain menunjang pariwisata, pembangunan infrastruktur jalan juga sangat penting untuk memperlancar perekonomian warga, terutama distribusi barang atau produk pertanian dari desa-desa," tambahnya.

Sayangnya, Pemkab Banyuwangi belum bisa membuka akses jalan menuju kawasan Pantai Sukamade dan G-Land, karena kedua tempat wisata tersebut masuk wilayah Taman Nasional Alas Purwo sehingga terkendala perizinan dari Kementerian Kehutanan.

Oleh karena itu, penggemar olahraga surfing dari mancanegara lebih senang menyeberang melalui Bali untuk mencapai G-Land dengan menggunakan kapal boat, karena akses jalan dari Banyuwangi yang rusak dan berat.

Namun, Banyuwangi masih memiliki wisata pantai yang tidak kalah indah dan menarik untuk olahraga surfing, yakni Pantai Pulau Merah di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggrahan. Di dekat Pulau Merah, masih ada "Green Bay" (Teluk Hijau) yang kondisinya masih alami.

Tahun lalu, Pemkab Banyuwangi sudah mulai memperkenalkan objek wisata "Red Island" tersebut ke masyarakat dunia melalui kejuaraan surfing atau selancar berskala internasional yang diikuti puluhan peserta dari berbagai negara.

President Asosiasi Selancar Indonesia (INSA), Jro Made Supatra Karang, menyebut pemandangan dan ombak di kawasan wisata Pantai Pulau Merah merupakan salah satu yang terbaik di Indonesia.

"Saya sudah berkeliling dunia dan melihat pantai di banyak negara, tetapi belum pernah melihat pantai yang seindah Pulau Merah. Pertama kali berkunjung ke sini, saya langsung takjub. Keindahannya tidak kalah dari pantai yang ada di Brazil," kata pria asal Bali itu.

Kendati demikian, Jro Made Supatra mengingatkan Pemkab Banyuwangi bahwa untuk menjadikan Pulau Merah sebagai kawasan wisata andalan sekaligus penopang ekonomi daerah, diperlukan waktu yang cukup panjang dan dukungan dari masyarakat setempat.

"Pantai Kuta (Bali) perlu waktu sekitar 10 tahun untuk bisa dikenal masyarakat dunia hingga sekarang. Selain konsisten menggelar kompetisi surfing dan promosi, masyarakatnya juga harus mendukung pengembangan kawasan wisata tersebut," ujarnya.

Oleh Didik Kusbiantoro
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013