Jakarta (ANTARA) - Indonesia adalah rumah bagi orangutan. Ada tiga spesies orangutan yang hidup di Indonesia, yaitu orangutan Sumatera (Pongo abelii), orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) dan orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus).

Orangutan Kalimantan oleh Badan Konservasi Dunia (IUCN) dimasukkan dalam daftar spesies terancam kritis (critically endangered), dengan jumlah populasi saat ini tidak lebih dari 57.350 ekor yang tersebar di areal seluas 16 juta hektare, menurut data Program Development and Planning Borneo Orangutan Survival (BOS) Foundation.

Angka tersebut menunjukkan penurunan populasi sekitar 80 persen dalam waktu kurang dari 50 tahun.

Berbagai ancaman bagi orangutan Kalimantan, di antaranya adalah habitat yang semakin sempit karena kebakaran hutan dan perubahan lanskap hutan, perdagangan di pasar gelap satwa, serta perburuan oleh masyarakat karena primata besar ini sering dianggap sebagai hama perusak kebun warga.

Orangutan dikenal sebagai petani hutan. Primata yang memiliki kecerdasan tinggi ini berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan sebagai satwa liar. Pertama, mereka berperan sebagai penyebar biji atau pemecah benih. Sebagai hewan frugivora, orangutan menelan biji buah-buahan dan menyebarkannya melalui kotoran, membantu regenerasi hutan dengan pertumbuhan pohon baru.

Selain itu, orangutan juga berperan dalam pengatur populasi flora dan fauna dengan memakan berbagai jenis tumbuhan, membantu mengendalikan populasi tumbuhan dan mencegah ledakan populasi satu spesies tumbuhan tertentu. Mereka juga menjadi mangsa bagi predator lain di hutan, seperti harimau dan macan tutul, yang membantu menjaga keseimbangan rantai makanan.

Orangutan juga berperan sebagai penyerbuk bunga. Saat berpindah dari satu pohon ke pohon lain, mereka membawa serbuk sari dari satu bunga ke bunga lain, membantu proses penyerbukan bunga dan meningkatkan reproduksi tanaman.

Primata yang memiliki 97 persen kemiripan dengan gen manusia ini membantu menjaga keseimbangan karbon di habitatnya di hutan hujan tropis, yang merupakan salah satu penyerap karbon terbesar di dunia. Keberadaan orangutan di hutan membantu menjaga keseimbangan karbon dan mencegah perubahan iklim.

Selain manfaat ekologisnya, orangutan juga memiliki dampak sosioekonomi positif. Mereka menjadi daya tarik wisata alam yang menarik perhatian wisatawan, membantu meningkatkan pendapatan masyarakat lokal. Secara keseluruhan, melestarikan orangutan dan habitatnya bukan hanya berarti menjaga kelestarian orangutan itu sendiri, tetapi juga berarti menjaga kelestarian hutan dan seluruh spesies yang hidup di dalamnya.


Perdagangan ilegal

Perdagangan ilegal orangutan di Kalimantan merupakan permasalahan yang mengancam kelestarian spesies ini. Penegakan hukum kehutanan menjadi kunci untuk mengatasi perdagangan ilegal ini.

Pada April 2023, Ditreskrimsus Polda Kalimantan Timur bersama dengan "Centre for Orangutan Protection" (COP) dan "Orangutan Information Centre" (OIC) menggerebek sebuah rumah di Samarinda yang dijadikan tempat perdagangan orangutan. Petugas mengamankan satu bayi orangutan betina yang dikurung dalam ember kecil di bagasi mobil.

Kasus ini merupakan contoh kecil dari perdagangan orangutan yang masih marak terjadi di Kalimantan. Perdagangan ini ilegal dan dapat dikenakan sanksi pidana karena orangutan adalah spesies yang dilindungi di Indonesia dan perdagangannya dilarang berdasar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Untuk melindungi orangutan dan memerangi perdagangan ilegalnya, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan kehutanan.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya melarang perdagangan, penyimpanan, dan penyerahan satwa yang dilindungi, termasuk orangutan. Sanksi pidana bagi pelanggar dapat mencapai pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp50 juta.

Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar juga melarang setiap orang untuk menyimpan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi, termasuk orangutan. Sanksi pidana bagi pelanggar dapat mencapai pidana kurungan paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 juta.

Selain itu, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.22/Menhut-II/2009 dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.316/Menhut-II/2003 juga mengatur tentang larangan penangkapan, perdagangan, dan kegiatan lain yang dapat mengganggu kelestarian orangutan di habitatnya.

Meskipun telah ada peraturan yang melarang perdagangan orangutan, penelitian menunjukkan bahwa peraturan tersebut belum efektif dalam memerangi perdagangan ilegal orangutan di Kalimantan. Beberapa faktor yang menjadi penyebab, antara lain adalah kurangnya penegakan hukum, kapasitas penegakan hukum yang terbatas, korupsi, dan kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya melindungi orangutan.

Hambatan dalam penegakan hukum terhadap perdagangan ilegal orangutan juga meliputi kurangnya bukti, kesulitan dalam melacak perdagangan ilegal, dan korupsi.


Penegakan hukum

Penegakan hukum kehutanan menjadi kunci untuk mengatasi perdagangan ilegal ini, namun masih terdapat banyak kendala yang menghambat efektivitasnya.

Terdapat beberapa solusi untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum kehutanan terkait perdagangan ilegal orangutan di Kalimantan.

Pertama, diperlukan langkah untuk memperkuat kapasitas penegakan hukum. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah dan pelatihan petugas penegak hukum kehutanan, termasuk penyidik dan jaksa. Dengan peningkatan pengetahuan dan keterampilan mereka dalam menangani kasus perdagangan ilegal orangutan, diharapkan penegakan hukum dapat dilakukan dengan lebih efektif.

Selain itu, penyediaan peralatan dan teknologi yang memadai juga diperlukan untuk mendukung operasi penegakan hukum, seperti patroli hutan, pengumpulan bukti, dan investigasi. Koordinasi antarlembaga penegak hukum, seperti Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Kepolisian Republik Indonesia, dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), juga perlu ditingkatkan untuk memperkuat upaya penegakan hukum.

Kedua, diperlukan langkah untuk memperkuat kerja sama antarpemangku kepentingan. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan kerja sama antara pemerintah, organisasi non-pemerintah (NGO), dan masyarakat lokal dalam upaya penegakan hukum dan edukasi. Melibatkan masyarakat lokal dalam kegiatan patroli hutan dan pelaporan aktivitas perdagangan ilegal orangutan juga dapat meningkatkan efektivitas penegakan hukum.

Selain itu, membangun kerja sama internasional dengan negara-negara tetangga juga penting untuk mencegah perdagangan ilegal orangutan lintas batas.

Ketiga, diperlukan langkah untuk memperkuat sistem hukum dan sanksi. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat undang-undang dan peraturan terkait perdagangan ilegal orangutan untuk memastikan efektivitas penegakan hukum.

Meningkatkan sanksi bagi pelanggar perdagangan ilegal orangutan, termasuk denda dan hukuman penjara yang lebih berat, juga penting untuk memberikan efek jera kepada pelaku perdagangan ilegal. Penting juga untuk memastikan konsistensi dan penegakan hukum yang adil bagi semua pelanggar, tanpa terkecuali.

Terakhir, diperlukan langkah untuk meningkatkan edukasi dan kesadaran masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan edukasi dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya melindungi orangutan dan dampak negatif perdagangan ilegal.

Melakukan kampanye publik dan program edukasi di sekolah-sekolah, desa-desa, dan komunitas lokal juga dapat meningkatkan kesadaran masyarakat. Selain itu, mendorong partisipasi masyarakat dalam upaya pelestarian orangutan dan pelaporan perdagangan ilegal juga penting untuk mengatasi perdagangan ilegal orangutan di Kalimantan.

Dengan langkah-langkah ini, diharapkan efektivitas penegakan hukum kehutanan terkait perdagangan ilegal orangutan di Kalimantan dapat meningkat.


*) Zhafira Krismulyadi, Alif Rahman Aulia, dan Farhan Nadhif adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas, anggota Asian Law Student's Association (ALSA) LC Unand

 

Copyright © ANTARA 2024