Mengacu pada aturan itu, maka sanksi pemidanaan terhadap pasal 42 UU 39/2014, terkait kebijakan hak atas tanah tidak dapat dilaksanakan.
Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum kehutanan Sadino mengingatkan bahwa semua usaha perkebunan wajib dilindungi jika telah mendapatkan hak atas tanah dan atau Izin Usaha Perkebunan (IUP) karena ada penghapusan ketentuan Pasal 105 UU 39/2014 oleh UU 6/2023.

"Mengacu pada aturan itu, maka sanksi pemidanaan terhadap pasal 42 UU 39/2014, terkait kebijakan hak atas tanah tidak dapat dilaksanakan," kata akademisi dari Universitas Al Azhar Indonesia itu di Jakarta, Selasa.

Pernyataan itu disampaikan Sadino menanggapi penilaian lemahnya pengawasan aparat kepolisian di lahan perkebunan sawit masyarakat dan perusahaan yang dianggap tidak mempunyai alas hak setingkat HGU.

Hal itu berakibat, dalam dua tahun terakhir, penjarahan buah sawit semakin marak di berbagai daerah termasuk Kalimantan Tengah.

Baca juga: Asosiasi promosikan nilai positif sawit di kalangan santri

Menurut dia, berdasarkan ketentuan pidana terkait pengelolaan kebun sawit, maka ketentuan itu harus kembali kepada Pasal 47 UU 39/2014 yang telah diubah oleh UU 6/2023 terkait Undang undang Cipta Kerja (UUCK).

"UU 6/2023, telah menghapus sanksi pemidanaan bagi pengelola perkebunan sawit yang belum memiliki alas hak,” kata Sadino dalam keterangannya.

Oleh karena itu, lanjutnya, melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138 Tahun 2015, seharusnya tidak ada lagi sanksi pemberlakuan pidana melainkan denda administratif.

Berarti, kata Sadino semua kegiatan Perkebunan sebelum Putusan MK tetap sah dan sesuai tempo pada saat diperolehnya perizinan Perkebunan dengan frasa "hak atas tanah dan/atau izin usaha perkebunan".

"Jadi hak alas atas tanah tak harus Hak Guna Usaha (HGU). IUP juga hak alas hak lain juga punya kekuatan hukum serta tidak melanggar putusan MK Nomor 138/PUU-XIII/2-15," ujarnya menegaskan.

Baca juga: Kalsel tingkatkan produksi padi lewat “Kelapa Sawit Tumpang Sari”

Menanggapi hal itu, Kapolres Kotawaringin Timur (Kotim) AKBP Sarpani memastikan pihaknya tidak melakukan tebang pilih dalam penegakan hukum untuk memberantas penjarahan di kebun sawit.

"Kami menindaklanjuti setiap laporan masyarakat dan perusahaan perkebunan terkait pencurian buah sawit, tanpa mempersoalkan perizinan perusahaan. Setiap perbuatan pencurian buah sawit merupakan pidana yang harus diselesaikan,” kata Saparni ketika dihubungi.

Kapolres secara tegas membantah ada perintah Kapolda yang mensyaratkan hanya perlu membantu perkebunan sawit yang telah memiliki izin tertentu seperti HGU.

"Semua laporan terkait tindak pidana pencurian buah sawit kami tindak lanjuti. Hampir 2,5 tahun saya berpatroli di kebun sawit. Ini menunjukkan komitmen kepolisan untuk membantu pekebun sawit," katanya.

Tak hanya menindaklanjuti laporan masyarakat, menurut dia Polres Kotim juga mengawasi agar buah sawit hasil curian tidak diperdagangkan di lapak pengepul ilegal.

"Pada prinsipnya, Kami berkomitmen untuk memutus mata rantai pencurian buah sawit disini,” katanya.

Sebelumnya Bupati Kotawaringin Timur (Kotim), Kalimantan Tengah Halikinnor mengingatkan, permasalahan menyangkut perkebunan kelapa sawit ini perlu ditangani dengan serius karena berhubungan dengan kelancaran investasi di daerah yang berdampak pada perekonomian daerah.

Menurut dia, tindakan penjarahan itu pada awalnya bukan dari masyarakat Kotim, akan tetapi dari wilayah lain yang kemudian merambah ke Kotawaringin Timur.

Penjarahan bermula dari warga yang menuntut realisasi plasma dari perusahaan perkebunan kelapa sawit yang dinilai belum melaksanakan kewajibannya, namun kemudian juga menyasar perkebunan kelapa sawit yang telah melaksanakan kewajiban plasma, bahkan kebun sawit milik warga juga ikut dijarah.

Pewarta: Subagyo
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2024