Jakarta (ANTARA) - Ketua Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Ian Yosef M. Edward menilai pentingnya bagi operator seluler untuk memperluas jangkauan konektivitas 5G di Indonesia setelah pita frekuensi 700 MHz dan 26 GHz berhasil dilelang.

Menurut dia langkah itu penting dilakukan mulai saat ini karena dapat mempermudah para operator seluler beradaptasi dari dominasi 4G ke 5G ketika teknologi sudah sepenuhnya mengandalkan jaringan 5G.

"Saat ini 5G memang masih agak mahal tapi ke depannya dia bakal murah. Akan jadi masalah bagi operator juga kalau dia masih cuma bertahan di 4G. Karena saat ini di dunia sudah banyak yang ke 5G, walaupun saat ini (teknologi 5G terbilang) baru tapi nantinya akan murah," kata Ian saat dihubungi ANTARA, Rabu.

Baca juga: Menkominfo: Jaringan 3G dihapus perlahan, 4G akan dimaksimalkan

Baca juga: Kominfo optimalkan penataan frekuensi dengan "Farming dan Refarming"


Urgensi para operator seluler sebagai penyelenggara telekomunikasi memperluas jangkauannya untuk jaringan 5G sebenarnya sudah mulai terlihat dengan bertambahnya gawai-gawai yang ada di pasar Indonesia yang mengunggulkan bahwa perangkat bisa terhubung ke konektivitas 5G.

Lambat laun, teknologi tersebut bakal lebih banyak berkembang di pasaran tidak hanya sebatas ponsel genggam tapi merambah ke perangkat elektronik lainnya yang menjadi penunjang kehidupan masyarakat.

Perluasan jaringan 5G dari sisi infrastruktur pun menurut Ian juga menarik dengan adanya pita frekuensi 26 GHz, karena teknologi ini sebenarnya bisa mewujudkan jaringan 5G standalone (SA) atau dapat berdiri sendiri tanpa dukungan infrastruktur tambahan.

Adapun untuk saat ini memang di Indonesia pemanfaatan teknologi 5G masih bersifat non-standalone (NSA) itu artinya jaringan yang dihadirkan didukung oleh infrastruktur 4G yang ada.

Namun dengan adanya pelelangan pita frekuensi 26 GHz yang memiliki pita yang lebih lebar memungkinkan teknologi 5G SA bisa diwujudkan di Indonesia.

"Dia (Jaringan 5G SA) itu butuh bandwith yang lebar tapi nantinya tidak perlu mengganggu jaringan pusatnya, itu yang standalone. Kalau di luar sudah banyak, tapi di kita (Indonesia) 5G-nya itu masih non-standalone. Nah kita ini tinggal nunggu waktu saja nih untuk bisa seperti itu (pakai jaringan 5G SA)," katanya.

Sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) berencana mengadakan lelang untuk spektrum frekuensi 700MHz dan 26GHz sekitar Mei atau Juni 2024, dengan harapan dapat memberikan manfaat maksimal bagi negara serta memberikan insentif bagi operator seluler.

Mengenai harga spektrum frekuensi, Kementerian Kominfo mengatakan masih dalam proses finalisasi dan diskusi dengan kementerian dan industri terkait, antara lain dengan Kementerian Keuangan dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Ada pun dalam rencana peraturan menteri untuk pelelangan kedua pita frekuensi tersebut, Kementerian Kominfo menjelaskan Pita frekuensi radio 700 MHz ini memiliki kelebihan dalam memberikan coverage layanan seluler 4G/5G yang lebih luas.

Sedangkan pita frekuensi radio 26 GHz merupakan salah satu pita yang memiliki kapasitas yang sangat besar dan cocok dengan implementasi teknologi 5G yang pada kasus tertentu membutuhkan kecepatan internet yang sangat tinggi dengan latensi yang sangat rendah.

Baca juga: GSMA: Perlu peta jalan pengembangan spektrum frekuensi di Indonesia

Baca juga: Menkominfo: Indonesia butuh tambahan spektrum 1.300MHz hingga 2026

Baca juga: Kemenkominfo siapkan insentif perluas jaringan 5G

 

Pewarta: Livia Kristianti
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2024