Mereka akan sukses jika mereka bisa membuka potensi tersembunyi yang bisa dimilikinya.
Jakarta (ANTARA) - Puluhan lukisan warna-warni yang menampilkan berbagai jenis bunga, buah, tumbuhan, fauna, hingga wayang terpajang di ruangan Sunrise Art Gallery, Jakarta. Uniknya, lukisan-lukisan tersebut tidak hanya ditampilkan di media kanvas, tetapi juga dalam bentuk berbagai peralatan elektronik seperti blender, pengering rambut, oven, penghangat makanan, penanak nasi dan lainnya.

Karya seni yang ditampilkan dalam pameran bertajuk “Empowering Inclusivity Powered by Hidden Talent” merupakan karya orang dengan kebutuhan khusus, di antaranya Raysha Dinar Kemal Gani (20), Kezia Kuryakin Sibuea (28), Shan Rafael (22), Owen Philip Widjajakusuma (21), dan Dwi Putro Mulyono Jati (61). Pameran yang diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Autisme sedunia tersebut, berlangsung hingga 31 Mei 2024 tersebut. Pameran itu bertujuan untuk menggalang donasi bagi pendidikan anak dengan autisme yang berasal dari keluarga prasejahtera.

Pendiri London School Center for Autism Awareness (LSCAA) yang juga ibunda dari Raysha Dinar Kemal Gani, Prita Kemal Gani, menyatakan anak-anak dengan autisme menghadapi tantangan yang lebih berat dibandingkan anak normal lainnya. Anak-anak dengan autisme membutuhkan pertolongan ataupun bantuan dari orang lain agar bisa menolong dirinya dan juga membantu sesama.

“Mereka akan sukses jika mereka bisa membuka potensi tersembunyi yang bisa dimilikinya. Ini yang harus disiapkan, salah satunya melalui perhatian dan dorongan orang tua,” kata Prita.

Raysha sendiri didiagnosis mengalami autisme sejak berumur 2,5 tahun. Pada awalnya, Prita mengira bahwa anaknya hanya mengalami keterlambatan dalam berbicara dan perkembangan lainnya. Sempat tak menerima kondisi yang dialami anak bungsunya tersebut, Prita kemudian disadarkan oleh ucapan ibunya yang menasihatinya agar menerima jika ada sesuatu yang terjadi di dalam keluarga.

“Ibu saya mengatakan, kalau kita diberikan kebaikan oleh Allah Swt. jangan itu saja yang kita terima, tetapi juga kalau ada hal-hal yang memprihatinkan itu juga perlu diterima dan dipelajari apa pesannya. Dan, ternyata setelah saya berpikir bahwa apa yang dikatakan oleh ibu saya itu benar, bahwa saya orang komunikasi, saya malah tidak bisa berkomunikasi dengan anak saya. Padahal di sekolah yang saya dirikan ada profesor komunikasi, doktor komunikasi, mahasiswa komunikasi, dan lainnya,” kenang pendiri London School of Public Relation (LSPR) itu.

Dari hal tersebut, Prita kemudian berinisiatif untuk mendirikan LSCAA, yang menjadi ruang temu untuk saling belajar bagi para orang tua yang memiliki anak dengan autisme, belajar dari para orang tua yang memiliki anak autisme yang sudah dewasa dan mampu membuka potensi anaknya. Sekolah nonprofit tersebut bertujuan untuk saling berbagi pengalaman berbagai hal tentang anak autisme.

Prita menjelaskan tidak mudah untuk mengetahui talenta tersembunyi yang dimiliki anak dengan autisme. Selain dilatih dan dipaparkan dengan berbagai kegiatan maka akan terlihat di mana potensi anak tersebut. Namun yang terpenting, autisme perlu mendapatkan terapi ataupun latihan karena jika dilatih akan berkurang beratnya. Anak dengan autisme ringan jika tidak dilatih akan menjadi berat, akan tetapi autisme berat jika dilatih akan berkurang autismenya.

“Anak-anak dengan autisme yang belum terbuka potensinya, akan merasa terkungkung dan cenderung menutup dirinya. Kita sebagai orang normal harus bisa mempersuasi mereka untuk melatih diri, dan itu tidak mudah untuk membuat mereka mau melatih diri, karena mereka memiliki masalah dengan sosialisasi, sensorik, hingga motorik. Perlu waktu dan kesabaran untuk membantu mereka menemukan potensi dirinya,” jelas dia.

Raysha sebelumnya menyukai berbagai kegiatan di luar ruangan, seperti berenang, namun sejak pandemi COVID-19 yang tidak memungkinkan beraktivitas di luar ruangan, Raysha diperkenalkan dengan kegiatan melukis dan ia menemukan potensinya melalui seni.

Autisme memberikan perspektif unik bagi Raysha dalam melihat dunia. Lukisan Raysha tak hanya ditampilkan di media kanvas, tetapi juga di berbagai medium seperti baju, jaket, tas, kotak pensil, hingga barang elektronik. Hingga saat ini lebih dari 90 karya lukis dihasilkan oleh Raysha. Hasil penjualan karya lukis Raysha disumbangkan pada pendidikan anak-anak dengan autisme dari keluarga prasejahtera.

Meski Raysha masih membutuhkan bantuan orang lain, ia membuktikan dirinya bisa menolong orang lain melalui karyanya.

Ke depan, Prita berharap masyarakat akan makin menerima keberadaan anak dengan autisme dan mengakui keberadaan mereka. Selama masyarakat menerima, maka anak-anak dengan autisme akan memiliki kesempatan untuk terus berkembang dan dapat menolong dirinya sendiri serta membantu orang lain.
 

Gangguan mental

Lain cerita Raysha, lain pula kisah Dwi Putro Mulyono Jati yang biasa disapa Pak Wi, yang memiliki gangguan mental. Melukis telah menjadi keseharian bagi Pak Dwi, yang sejak kelas tiga SD kehilangan pendengaran dan cenderung menyendiri. Akibat kebiasaannya yang cenderung menyendiri, pembelajarannya menjadi terhambat dan berakibat tidak naik kelas.

Pak Wi kemudian enggan ke sekolah dan disarankan untuk dipindahkan ke SLB Negeri 1 Yogyakarta. Namun, Pak Wi juga enggan berangkat ke sekolah. Menurut adik Pak Wi, Nawa Tunggal, gejala awal gangguan mental yang dialami oleh Pak Wi adalah mania atau kesukaan yang berlebihan akan sesuatu.

“Contohnya, karena kita keluarga besar tentu memiliki meja yang besar dan Pak Wi selalu duduk di tempat yang sama. Kalau tidak, bisa mengamuk,” kenang Nawa.

Pada usia remaja, Pak Wi menyukai perempuan di kelas yang berbeda dan kerap tidak masuk kelas hanya untuk melihat perempuan tersebut.

Manifestasi tersebut memicu gangguan mental dan membuatnya harus berobat jalan. Puncaknya saat kedua orang tuanya meninggal dan Pak Wi lebih banyak menghabiskan waktu di jalan. Prihatin dengan hal tersebut, Nawa kemudian mengenalkannya dengan lukisan pada tahun 2000-an. Kegiatan melukis tersebut membawa dampak positif bagi Pak Wi.

Kegemarannya akan melukis pula membuat Pak Wi diteliti oleh Borderless Art NoMa Museum, Jepang, sepanjang 2016-2018. Saat ini, ribuan lukisan telah dihasilkan oleh Pak Wi yang setiap hari melukis. Dalam 3 tahun terakhir, Pak Wi telah berpartisipasi dalam berbagai pameran lukisan.

Meski tak mudah untuk menemukan potensi anak dengan autisme maupun orang dengan gangguan mental, dengan kesabaran dan latihan yang dilakukan berulang bisa membantu mereka untuk mandiri dan mampu berkontribusi kepada sesama.


Editor: Achmad Zaenal M


 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024