... dibutuhkan kabinet yang tidak hanya kapabel, tetapi juga memiliki akuntabilitas dan respons yang kuat.
Semarang (ANTARA) - Pesta demokrasi terbesar sepanjang sejarah kepemiluan telah usai. Semua pihak perlu bersatu padu mendukung Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2024—2029.

Sambil menanti pelantikan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI pada tanggal 20 Oktober 2024, semua komponen bangsa tampaknya perlu memberikan saran dan masukan terkait dengan plus minus kabinet ramping atau kabinet gemuk.

Sebagai gambaran pada masa Orde Baru, misalnya, Kabinet Pembangunan I terdiri atas dua menteri koordinator (menko) dan 25 menteri atau total 27 orang.

Pada Kabinet Pembangunan II masa pemerintahan presiden ke-2 RI H.M. Soeharto terdiri atas dua menko dan 22 menteri plus menteri negara (menneg) atau total 24 orang. Berikutnya pada Kabinet Pembangunan III ada penambahan menteri koordinator menjadi tiga menko, 21 menteri/menneg, dan enam menteri muda (menmud) dengan total 30 orang.

Selanjutnya, pada Kabinet Pembangunan IV makin gemuk dengan total 37 orang, terdiri atas tiga menko, 29 menteri/menneg, dan lima menmud.

Pada Kabinet Pembangunan V bertambah satu menteri muda dengan total 38 orang, terdiri atas tiga menko, 29 menteri/menneg, dan enam menmud.

Anggota Kabinet Pembangunan VI ada penambahan satu menko menjadi empat menko dan 35 menteri/menneg. Pembantu Presiden yang berjumlah 39 orang ini tidak ada lagi jabatan menmud.

Namun, pada Kabinet Pembangunan VII terjadi pengurangan jumlah menteri menjadi 30 orang dan empat menko sehingga totalnya 34 orang.

Pada Kabinet Reformasi Pembangunan era pemerintahan presiden ke-3 RI B.J. Habibie jumlahnya bertambah menjadi 36 orang, yakni empat menko dan 32 menteri/menneg.

Pada masa pemerintahan presiden ke-4 RI K.H. Abdurrahman Wahid bernama Kabinet Persatuan Nasional sebanyak 34 pembantu presiden, terdiri atas tiga menko dan 31 menteri/menneg.

Selanjutnya pada masa pemerintahan presiden ke-5 RI, Kabinet Gotong Royong sebanyak 30 menteri, terdiri atas tiga menko dan 27 menteri/menneg.

Pada masa era pemerintahan presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono periode pertama sebanyak 35 menteri, terdiri atas empat menko dan 31 menteri/menneg.

Pada periode kedua, susunan Kabinet Indonesia Bersatu II makin gemuk atau 51 menteri dengan penambahan 17 wakil menteri (wamen). Jumlah menteri/menneg sama dengan periode sebelumnya (31 menteri). Namun, pada era kepemimpinan SBY ini jumlah menteri koordinator berkurang menjadi tiga menko.

Pada masa pemerintahan Presiden RI Joko Widodo, susunan Kabinet Kerja terdiri atas empat menko, 30 menteri/menneg, dan tiga wamen dengan total 37 menteri.

Periode berikutnya, Kabinet Indonesia Maju jumlah menteri terbanyak, yakni 52 orang terdiri atas empat menko, 31 menteri/menneg, dan 17 wakil menteri.

Semua pihak tampaknya perlu memberikan masukan kepada pasangan Prabowo-Gibran sebelum pasangan calon nomor urut 2 ini menyusun kabinet.

Masukan dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dalam kemasan diskusi publik bertajuk Kabinet Rasa Politik atau Profesional? Menagih Arsitektur Kelembagaan Efektif digelar di Jakarta, Rabu (1/5), patut diapresiasi.

Sejumlah ekonom tampil sekaligus memberikan saran dan masukan serta kondisi Indonesia saat ini kepada pasangan calon terpilih pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024.

Secara efektivitas, kata Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Indef Andry Satrio Nugroho, tata kelola pemerintahan Indonesia jika dibanding dengan negara ASEAN lain berada di peringkat kedua terendah.

Padahal, institusi dan tata kelola yang baik akan menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Efektivitas pemerintahan juga secara signifikan memberikan efek positif pada pertumbuhan ekonomi.

Oleh karena itu, menurut Andry Satrio, susunan kabinet akan menjadi cerminan seberapa efektif pemerintahan akan dijalankan.

Dari sisi pertumbuhan ekonomi, muncul pertanyaan kenapa pertumbuhan ekonomi Indonesia dari tahun ke tahun belakangan ini terus mengalami stagnasi. Bisa jadi salah satu alasannya karena minimnya efektivitas tata kelola pemerintahan yang berdampak pada capaian target pertumbuhan ekonomi.

Kabinet koalisi yang besar, kata ekonom dari Indef itu, memang akan menguntungkan bagi pemerintahan 5 tahun ke depan untuk memperlancar program-programnya. Akan tetapi, itu juga indikasi akan lumpuhnya check and balances di parlemen.

Diingatkan pula bahwa kemunduran demokrasi (backsliding democracy), antara lain, tercipta dari tiadanya resistensi parlemen terhadap segala kebijakan eksekutif.

Dukungan koalisi yang besar juga otomatis akan menciptakan kabinet yang besar dan membutuhkan ruang fiskal yang lebih besar pula.

Kabinet Prabowo-Gibran kemungkinan akan didominasi oleh politikus. Namun, seyogianya mereka memegang kementerian non-ekonomi agar kepercayaan pasar dan pelaku usaha tetap terjaga. Di samping itu, komposisi koalisi perlu terjaga hingga akhir periode pasangan Prabowo-Gibran.

Terkait dengan rencana pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) dengan memecah Direktorat Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai dari Kementerian Keuangan, Andry Satrio memandang perlu memperhatikan waktu penyesuaian secara cepat. Selain itu, dikelola dan dipimpin secara profesional oleh mereka yang mengerti penerimaan negara.

Hal lain yang tampaknya perlu diperhatikan oleh pemerintahan 5 tahun ke depan, antara lain, meninjau kembali badan otonom serupa yang saat ini diisi oleh politikus yang sering kali tidak efektif.

Di lain pihak, sejumlah indikator ekonomi Indonesia masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara lain. Misalnya, segi produktivitas dari nilai tambah dibagi pekerja Indonesia masih tertinggal di bawah negara lain seperti Malaysia.

Menurut ekonom Dr. Imaduddin Abdullah, produktivitas sektor industri Indonesia justru di bawah negara berpendapatan menengah, dan selevel dengan negara berpendapatan menengah rendah (low middle income).

Begitu pula daya saing sektor manufaktur juga rendah dengan indikator Review Component Advantage (RCA). RCA sama dengan 1 dianggap memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage) jika dibandingkan dengan negara-negara lain.

Pada tahun 2000, Indonesia masih selevel dengan Vietnam. Akan tetapi, kata Imaduddin Abdullah, RCA Indonesia ternyata masih di bawah 1 yang berarti daya saing ekspor terbilang rendah.

Peneliti Center of Food, Energy, and Sustainable Development Indef ini juga mengingatkan kepada pemerintahan produk Pemilu 2024 bahwa di bidang green opportunities dan hilirisasi industri, intensitas negara-negara maju untuk mengintervensi sektor industrinya makin kuat, terutama bagi mineral dan produk-produk turunannya.

Hilirisasi Indonesia di sektor mineral akan makin mendapat resistensi dan persaingan makin kuat dari negara-negara maju. Oleh karena itu, dibutuhkan kabinet yang tidak hanya kapabel, tetapi juga memiliki akuntabilitas dan respons yang kuat.

Tiongkok, misalnya, sukses karena mempunyai prakondisi yang kuat dan memiliki respons pemerintah yang juga kuat. Begitu pula India. Negara ini juga punya prakondisi kuat, tetapi tidak memiliki respons pemerintah yang kuat pada akhirnya kehilangan peluang tersebut.

Di bidang tantangan ekonomi politik domestik, dia menyebut terdapat tiga faktor berpengaruh, yakni tekanan internasional, kepentingan elite, dan keterlibatan masyarakat. Aspek keterlibatan masyarakat, indikator demokrasi mempunyai pengaruh yang kuat pada perkembangan dan pertumbuhan ekonomi.

Untuk menyusun arah kebijakan pemerintahan, kata ekonom senior Indef Dr. Tauhid Ahmad, harus melihat apa yang akan terjadi di depan.

Ada beberapa peluang. Namun, pada tahun 2025 juga masih ada stagnasi ekonomi global 3,1—3,2 persen. Pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju mitra dagang Indonesia juga belum tumbuh signifikan, misalnya Amerika Serikat mengalami penurunan ekonomi. Eskalasi di Timur Tengah masih terus dipantau pengaruhnya pada situasi ekonomi global.

Tauhid Ahmad memperkirakan siapa pun yang akan jadi menteri akan kebingungan jika tidak bisa mendinamisasi situasi ekonomi di tengah suku bunga global yang masih relatif tinggi (The Fed). Itu akan berpengaruh besar pada suku bunga dalam negeri dan nilai tukar.

Kendati demikian, beberapa tren komoditas domestik agak membaik seperti batu bara yang alami kenaikan harga. Begitu pula minyak sawit, minyak mentah. Akan tetapi, nikel justru turun harga. Hal-hal itu adalah tantangan bagi sosok menteri ekonomi kelak.

Ditegaskan pula bahwa tidak ada satu pun lembaga di dunia yang sesuai dengan target pertumbuhan ekonomi calon presiden terpilih pada Pilpres 2024, bahwa target pertumbuhan 2025 sekitar 6—7 persen.

Lembaga dunia menaksir pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025 paling tinggi sekitar 5,2 persen. Tantangan bagi kabinet terpilih, khususnya menteri-menteri ekonomi, adalah bagaimana menaikkan kinerja pertumbuhan ekonomi agar melebihi target pertumbuhan yang telah diprediksi oleh lembaga-lembaga dunia.

Editor: Achmad Zaenal M
 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024