Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi VI DPR RI Alfridel Jinu mempertanyakan rencana pemerintah mengimpor beras, karena selama ini masih ada kesimpangsiuran data mengenai jumlah produksi beras dan kebutuhan nasional setiap tahunnya. Alfridel Jinu, di Jakarta, Selasa, mengkhawatirkan kebijakan impor beras justru akan semakin memarjinalkan kehidupan petani. "Rencana impor beras itu merupakan simbul ketahnan pangan nasional yang semrawut," katanya menanggapi adanya lobi-lobi pemerintah terhadap kalangan DPR mengenai impor beras. Pemerintah belum bisa memiliki data akurat yang bisa meyakinkan DPR bahwa impor beras itu bersifat mendesak atau tidak. Data yang disampaikan DPR selama ini hanya merujuk angka perkiraan kekuarangan beras nasional. Sedangkan BPS merekomendasikan terjadi peningkatan produksi dibanding tahun lalu. Alfridel Jinu, anggota DPR dari daerah pemilihan Kalimantan Tengah yang sebelumnya menjadi anggota Komisi VIII DPR menduga impor beras merupakan taktik importir beras untuk mengeruk keutungan. Mantan wakil ketua komisi pertanian dan kehutanan DPR H. Imam Churmen menyatakan, impor beras bukan tabu, tapi tergantung kebutuhan dan situasi-kondisi kapan impor itu dilakukan. "Kalau impor itu dilakukan untuk kepentingan cadangan nasional dan demi ketahanan pangan nasional, tak perlu ragu, asalkan pemerintah telah melakukan berbagai usaha termasuk dalam hal pengadaan pangan, sesuai dengan kemampuan," kata H. Imam Churmen. Namun, dia mengingatkan, beras dan pupuk tidak bisa dijadikan alat komersil. Karena itu impor beras bisa saja dilakukan namun tergantung kepentingannya. Meskipun demikian, Imam menambahkan, jika melakukan impor beras, pemerintah hendaknya menunjuk perusahaan yang berpengalaman, seperti Bulog, dengan koordinasi dan keterbukaan yang lebih baik. Mengenai pupuk dan benih, Imam meminta pemerintah memberikan bantuan kepada daerah-daerah yang dilanda bencana alam, agar petani setempat bisa kembali melanjutkan usahanya di bidang pertanian. Pengadaan benih dan pupuk, menurutnya, sangat vital dalam menunjang pembangunan pertanian, yang tercermin dalam revitalisasi pertanian. "Karena itu, distribusi pupuk dan pengadaan benih yang diperlukan petani harus betul-betul dilakukan sesuai kebutuhan, dan tidak menjadikannya sebagai alat komersial belaka," katanya. Sebelumnya, Menteri Pertanian Anton Apriantono menyatakan, pemerintah belum membuat keputusan tentang perlu-tidaknya impor beras, meskipun cadangan beras nasional makin berkurang. Pemerintah, menurutnya, hanya membuat keputusan ketentuan harga pembelian (selling price) tertinggi yang akan ditentukan oleh gubernur masing-masing. Bulog juga menyatakan perlu melakukan operasi pasar (OP), karena kenaikan harga beras masih dinilai wajar, dalam batas di bawah 25 persen dari harga pokok pembelian (HPP). Namun, Dirut Perum Bulog, Widjanarko Puspojo, mengakui, stok beras nasional yang ada di gudang-gudang Bulog saat ini hanya sekitar 532 ribu ton, atau di bawah cadangan aman satu juta ton. Diakui pula, penambahan stok beras nasonal dengan pembelian beras dari dalam negeri, terhambat oleh tingginya harga beras.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006