Hasilnya, jika pada tahun 2020 ada 68 titik banjir, sekarang ini (2024) tinggal tujuh titik banjir,
Kota Bandung (ANTARA) - Kota Bandung terkenal dengan keindahan alam yang memesona, berudara sejuk, dan kaya akan budaya. Namun, di balik keelokan tersebut, Kota Kembang ini menyimpan "luka" yang kerap muncul saat musim hujan tiba.

Kota Bandung memang terletak di sebuah cekungan yang dikelilingi oleh pegunungan  sehingga sering digambarkan seperti berada di tengah mangkuk raksasa.

Menelisik sejarah, cekungan Bandung terbentuk jutaan tahun lalu akibat letusan dahsyat Gunung Sunda. Erupsi ini menciptakan kaldera raksasa yang kemudian terisi air dan menjadi danau purba. Seiring dengan waktu, danau tersebut mengering dan meninggalkan cekungan yang luas.

Terletak di tengah cekungan, kota ini memang rawan banjir karena air hujan mudah terkonsentrasi ke wilayah tengah dan mengalir dari lereng gunung menuju dua aliran sungai utama, yaitu Sungai Cikapundung dan Sungai Citarum yang sangat rentan meluap saat musim hujan tiba.

Dulu, Bandung memiliki banyak sekali kawasan hijau, seperti hutan, kebun, dan persawahan. Kawasan-kawasan ini dulu berfungsi sebagai kolam alami yang mampu menampung air hujan dan mencegah terjadinya banjir.

Akan tetapi, saat ini banyak sekali kawasan hijau yang beralih fungsi menjadi permukiman, gedung perkantoran, hingga perhotelan. Hal ini menyebabkan berkurangnya daerah resapan air yang berpotensi memicu banjir di wilayah Kota Bandung.

Oleh karena itu, permasalahan banjir menjadi pekerjaan rumah bagi kota ini. Aliran air sering kali meluap ke permukaan setelah terkikisnya lahan hijau akibat perubahan tata guna lahan.

Menyadari hal ini, Pemerintah Kota Bandung pada masa kepemimpinan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil pada tahun 2015 meluncurkan program inovatif untuk memerangi banjir di kota ini melalui pembangunan kolam retensi.

Kolam retensi kali pertama dibangun di Taman Lansia, Kelurahan Cisangkuy, Kecamatan Bandung Wetan. Ide pembangunan Kolam Retensi Taman Lansia muncul dari keprihatinan atas permasalahan banjir yang kerap melanda Kota Bandung dengan mengamati bahwa taman perkotaan, selain berfungsi sebagai ruang publik, juga memiliki potensi untuk menampung air hujan.

Proyek pertama Pemerintah Kota Bandung dalam pembangunan kolam retensi di Taman Lansia, Kota Bandung. ANTARA/Rubby Jovan
Kolam Retensi Taman Lansia memiliki luas 2.452 meter persegi dengan kedalaman 4 meter sehingga dapat menampung air sebanyak 8.417 meter kubik untuk dialirkan menuju anak Sungai Cikapundung, yakni Sungai Cikapayang.

Program pembangunan kolam retensi ini menjadi salah satu langkah awal dalam upaya penataan sistem drainase di Kota Bandung dan menjadi cikal bakal dari 13 kolam retensi yang telah dibangun untuk pengendalian banjir yang hingga saat ini masih terus dikembangkan.

Kolam retensi bukan sembarang kolam. Kolam buatan ini dirancang khusus untuk menampung air hujan, mengendalikan banjir, dan menjaga keseimbangan air tanah.

Pemerintah Kota Bandung sejak tahun 2015 hingga 2024 telah membangun 13 kolam retensi, yakni Kolam Retensi Taman Lansia, Sarimas, Sirnaraga, Kandaga Puspa, Rancabolang, Cisurupan, Gedebage, Bima, Allugoro, Cisanggarung, Bandung Inten, Dian Permai dan Margahayu.

Adapun kehadiran kolam retensi di wilayah Kecamatan Gedebage mempunyai peran  penting dalam pengendalian banjir.

Secara topografi, kecamatan ini menjadi titik terendah dan terletak di dasar cekungan Bandung dengan ketinggian 666 meter di atas permukaan laut sehingga kawasan ini kerap menjadi langganan banjir kala hujan deras tiba.

Dibangun pada tahun 2020, Kolam Retensi Gedebage memiliki luas1.550 meter persegi dengan kedalaman 4 meter dan menampung air sebanyak 5.425 meter kubik untuk dialirkan menggunakan rumah pompa menuju anak Sungai Cipamulihan.

Petugas Kolam Retensi Gedebage Risky (26) kepada ANTARA menjelaskan, secara teknis kolam ini mirip dengan bak penampung air raksasa dari aliran sungai saat hujan deras. Di beberapa titik, air dialihkan ke kolam retensi. Di sini, air ditampung dan diproses secara alami untuk kemudian dialirkan secara perlahan ke sungai sehingga meminimalisasi risiko luapan dan banjir.

Sebelum pembangunan kolam retensi, Gedebage kerap dilanda banjir yang tidak kunjung surut. Aliran sungai yang meluap tak jarang merendam kendaraan yang melintasi Jalan Soekano-Hatta hingga menyebabkan mogok dan tidak bisa melintas.

“Sebelum ada Kolam Retensi Gedebage, Jalan Soekarno-Hatta bisa terendam kurang lebih 5 jam karena aliran Sungai Cipamulihan meluap ke jalan,” katanya.

Keberadaan kolam retensi itu tidak hanya bergantung pada penampungan air ini karena di balik itu terdapat tiga pompa yang mampu menyedot air dengan cepat dan efisien.

Saat kolam penuh air, pompa ini bekerja tanpa henti untuk mengalirkan air ke sungai sehingga dapat mencegah genangan air di jalan dan permukiman warga.

Pompa ini dilengkapi dengan sistem kontrol canggih. Pompa ini dapat bekerja secara ideal di kala hujan deras tiba, yakni air kolam dapat terkontrol dengan baik dan tidak sampai meluap.

“Kalau tadinya banjir di Gedebage selama 5 jam belum surut, setelah ada pompa, kalau hujan  cukup deras, 2 jam bisa langsung surut,' kata Risky.

Rumah pompa yang berfungsi sebagai menyedot ketika air di Kolam Retensi Gedebage naik ke permukaan. ANTARA/Rubby Jovan
Menurut Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga (DSDABM) Kota Bandung, kehadiran kolam retensi memberikan pengaruh signifikan  terhadap volume genangan banjir yang tersisa di Kota Kembang.

Sembilan tahun lalu, tepatnya pada 2015, volume genangan banjir di Kota Bandung mencapai 99.336 meter kubik dan telah menyusut 62.719 meter kubik setelah dibangun 13 kolam retensi di berbagai wilayah hingga tahun 2024.

“Jadi pembangunan kolam retensi masih perlu dilakukan lagi karena berdasarkan kajian pada tahun 2023 masih volume genangan air di Kota Bandung masih tersisa sekitar 36.000 meter kubik yang belum tertampung,” kata Kepala Seksi Pengendalian Daya Rusak Air Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga Kota Bandung, Yudi Gumelar.

Penanganan kolam retensi di Kota Bandung terbagi dalam 12 sub-daerah aliran sungai (DAS), yakni kawasan Cigondewah, Cianting, Cibereum, Cicahiyang, Cipariuk, Curugdogrog, Citepus, Cikapundung, Cicadas, Cidurian, Cipamokolan, dan Cinambo.

Dari ke-12 sub DAS tersebut volume genangan di empat sub DAS telah dinyatakan menyusut  sehingga saat ini DSABM Kota Bandung  berfokus pada sisa volume genangan banjir di delapan sub DAS tersisa dengan volume genangan yang tersisa sebesar 36.000 meter kubik.

“Saat ini tersisa delapan sub DAS--jika diatasi semua dengan kolam retensi--dibutuhkan kolam seluas 9.154 meter persegi,” kata dia.

Selain menyusutnya volume genangan air pada 12 sub DAS, pembangunan kolam retensi juga memberikan dampak penyusutan terhadap titik banjir di Kota Bandung.

Pemerintah Kota Bandung sudah melakukan serangkaian pengendalian banjir. Hasilnya, bila pada tahun 2020 ada 68 titik banjir, sekarang ini (2024) tinggal tujuh titik banjir.

Lebih dari sekadar penangkal banjir, kolam retensi di Kota Bandung dirancang tidak hanya sebagai penampung air, tetapi juga sebagai fasilitas publik dan taman.

Beberapa kolam retensi pun telah dilengkapi dengan fasilitas seperti lintasan jalan kaki (jogging track), taman bermain anak, tempat duduk, dan toilet umum.

Tak hanya itu, beberapa kolam retensi juga dijadikan sebagai ruang edukasi tentang pengelolaan air maupun budi daya ikan yang dapat membuka mata pencarian baru bagi warga sekitar.

Pada masa menjelang kemarau, masyarakat memanfaatkannya dengan budi daya ikan lele, sedangkan pada musim hujan sebagai penampungan air.

Kolam Retensi Taman Lansia yang juga berfungsi sebagai area publik yang dapat dinikmati oleh masyarakat umum. ANTARA/Rubby Jovan
Kolaborasi lintas sektoral

Banjir merupakan masalah kompleks yang tidak dapat diselesaikan hanya oleh satu pihak saja. Diperlukan sinergi dan kolaborasi dari berbagai sektor untuk mencapai solusi efektif dan berkelanjutan.

Penjabat Wali Kota Bandung Bambang Tirtoyuliono menyebut persoalan banjir menjadi fokus untuk diselesaikan dengan kerja sama lintas sektoral.

Masalah banjir sebenarnya sudah terpetakan cara penyelesainnya, namun Pemkot Bandung tidak bisa bekerja sendiri dalam menghadapi persoalan tersebut. Dibutuhkan dukungan dari lintas wilayah untuk mengatasi persoalan ini.

“Saya merasa yakin ada solusi bersama karena simpul-simpul terjadinya banjir sudah terindentifikasi, tinggal bagaimana berkolaborasi dengan lintas wilayah,” katanya.

Penjabat Wali Kota Bandung Bambang Tirtoyuliono saat melakukan kunjungan ke Kolam Retensi Margahayu. ANTARA/Rubby Jovan
Pembangunan satu kolam retensi membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk pembebasan lahan, konstruksi, hingga pemeliharaan.

Oleh karena itu, penanggulangan banjir, termasuk pembangunan kolam retensi, membutuhkan upaya bersama dari semua pihak. Kolaborasi lintas sektoral menjadi kunci mendapatkan solusi efektif dan berkelanjutan.

Dengan sinergi lintas sektor dan wilayah, Kota Bandung bakal menjadi kota yang lebih aman dan nyaman bagi 2.693.500 warganya.

Editor: Achmad Zaenal M

 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024