Jakarta (ANTARA News) - Hasil riset terbaru Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menyebutkan, sebanyak 60,88 persen responden menyatakan khawatir pemerintahan 2014 tidak bisa bekerja efektif lagi karena sibuk mengurusi pemilu, sedang  31,27 persen yang masih meyakini tetap dapat bekerja dengan baik dan 7,85 persen responden tidak menjawab.

Peneliti LSI Fitri Hari kepda pers di jakarta, Minggu, mengatakan, kekhawatiran publik ini merata di semua segmen masyarakat Indonesia. Namun mereka yang tinggal di desa, pendidikan rendah, dan kelas ekonomi bawah lebih merasa khawatir bahwa pemerintahan tidak akan bekerja lagi mengurusi rakyat di tahun politik dibanding dengan mereka yang tinggal di kota, berpendidikan tinggi, dan kelas ekonomi atas.

Survei LSI itu dilakukan melalui "quick poll " pada tanggal 18--19 Desember 2013 dengan menggunakan metode "multistage random sampling" dengan 1.200 responden dan tingkat kesalahan +/- 2,9 persen. Survei dilaksanakan di 33 propinsi dan dilengkapi dengan penelitian kualitatif dengan metode analisis media, diskusi fokus grup, dan wawancara secara mendalam.

Selain kekhawatiran umum mengenai jalannya pemerintahan di tahun politik, mayoritas publik pun khawatir bahwa presiden dan wakil presiden beserta para pembantunya (menteri) tidak akan fokus lagi dengan tugas-tugas pemerintahan. Sebanyak 77,42 persen responden khawatir bahwa para menteri KIB Jilid II tidak akan fokus bekerja karena harus membantu partai dalam Pemilu 2014.

Sedangkan mereka yang yakin para menteri masih tetap fokus menjalankan tugasnya hanya sebesar 19,35  persen, sisanya 3,23 responden tidak menjawab.

Fitri menjelaskan, ada sejumlah faktor yang menyebabkan munculnya kekhawatiran publik pemerintahan akan tidak efektif lumpuh pada di  2014, yaitu dampak pemerintahan koalisi, di setiap tahun menjelang pemilu nasional, partai yang ikut berkoalisi pun mulai bersaing dan presiden yang terpilih melalui pemilu mengajak sejumlah partai untuk berkoalisi (sebelum maupun sesudah Pilpres) dalam pemerintahan termasuk menempatkan menteri partai dalam kabinet.

Dengan koalisi ini diharapkan setiap kebijakan pemerintahan dapat dengan mudah dijalankan karena dukungan mayoritas di Parlemen. Namun demikian, pemerintahan koalisi ini akan menghadapi ujian terberatnya ketika menghadapi pemilu. Karena semua partai yang terlibat dalam koalisi pemerintahan akan fokus dengan kepentingan partainya masing-masing. Persaingan partai politik dalam merebut simpatik dan dukungan publik ini akhirnya mengganggu fokus pemerintah dalam menjalankan tugasnya sehar-hari.

Faktor kurang pemahaman etika pemerintahan, misalnya menteri yang aktif berpolitik seperti menjadi caleg ataupun capres tidak mau mundur secara sukarela dari jabatannya. "Ada 10 menteri yang tercatat sebagai caleg dalam Pemilu 2014 nantinya," kata Fitri.

Fitri mengatakan, hasil survei LSI merekomendasikan kepada pemerintah saat ini untuk mengembalikan keyakinan publik terhadap pemerintahan di 2014, yakni pertama harus ada upaya sistematis mengurangi jumlah partai politik di parlemen agar partai makin besar (jumlah suara dan kursinya) dan kebutuhan koalisi partai makin berkurang, misalnya secara berkala menaikan batas parliamentary threshold (PT), sehingga jumlah partai hanya  3 atau 5 buah saja.

Kedua, presiden diharapkan menonaktifkan menteri yang aktif berpolitik atau menjadi pengurus partai politik. Ketiga, menteri yang aktif berpolitik di tahun 2014 sebaiknya mengundurkan diri. Untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap pemerintahan, para menteri yang saat ini terlibat dalam politik baik sebagai caleg ataupun capres sebaiknya mengundurkan diri untuk alasan etik dan menjaga kredibilitas pemerintahan.

"Meski para menteri berusaha meyakinkan publik bahwa aktivitas kepartaiannya tidak mengganggu tugasnya dalam pemerintahan, namun publik memiliki logika berbeda. Bagi publik aktivitas politik para menteri akan mengganggu fokus mereka mengurusi rakyat," demikian Fitri Hari.(*)

Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013