Berbahasa secara cerdas dari kalangan awak pers juga diakibatkan lemahnya kemampuan awak pers dalam memahami prinsip berbahasa jurnalistik.
Jakarta (ANTARA News) - Jurnalis dan editor media massa oleh Anton M. Moeljono (mendiang) dikelompokkan sebagai pengguna cendekia bahasa. Itu sebabnya mereka dituntut menggunakan bahasa, dalam profesi jurnalistik mereka, secara cendekia, tidak berbahasa asal-asalan, melanggengkan salah kaprah dalam berbahasa di masyarakat.

Dilema segera muncul dengan tuntutan seperti itu. Hal ini berhubungan dengan karakter bahasa itu sendiri. Ambillah contoh sederhana ini. Dalam pemakaian bahasa yang lazim di kalangan masyarakat awam, bahkan pada batas-batas tertentu juga terjadi di kalangan kaum terpelajar, salah kaprah pemakaian nomina abstrak "perlindungan" untuk merujuk pada verba "melindungi" terus dilanggengkan oleh awak pers.

Jika mengikuti ajakan munsyi yang semasa hidupnya ajek melakukan diskusi bahasa dengan jurnalis itu, maka yang betul yang harus digunakan oleh pers mestinya "pelindungan", bukan "perlidungan". Pilihan untuk mendidik masyarakat dari kalangan pers dengan membetulkan yang salah agaknya belum diikuti secara serius oleh awak pers.

Masalahnya bukan pada tiadanya pemahaman yang tepat di kalangan pers tentang bahasa yang benar yang harus digunakan. Tapi kerasnya persaingan di tubuh pers sendiri untuk memilih sikap berbahasa dalam menjalankan profesi jurnalistik.

Harus diakui bahwa hampir di semua perusahaan media massa, lebih tepatnya di dalam tubuh keredaksian, kalangan jurnalis yang bertungkus lumus dengan kaidah bahasa dan yang menggunakan bahasa secara natural tidak seimbang. Kelompok yang pertama bisa dihitung dengan jari sementara jumlah kelompok kedua jauh lebih besar.

Kondisi seperti itu tentu mempengaruhi dalam pengambilan keputusan soal sikap bahasa media bersangkutan dalam menjalankan peran pemberitaan terkait dengan pemakaian bahasa. Karena jumlah yang tak menggeluti bahasa secara khusus begitu sedikit, setiap pengambilan keputusan yang didasarkan pada suara terbanyak, kelompok kedualah yang memang.

Artinya, mengikuti arus masyarakat banyak dalam berbahasa menjadi pilihan keputusan redaksi. Pilihan itu tentu tidak mutlak salah sebab bahasa pada akhirnya memang berlangsung dalam kesepakatan pengguna terbanyak. Namun, jika itu realitasnya, harapan bahwa jurnalis harus menggunakan bahasa secara cendekia jadi jauh panggang dari api.

Salah kaprah berbahasa yang cenderung dilanggengkan awak media juga dikukuhkan oleh rendahnya kemampuan pejabat publik dalam berbahasa seara betul. Nama-nama lembaga yang tentu saja diputuskan oleh para petinggi negara tak jarang mengabaikan kaidah berbahasa yang betul.

Nama "Komisi Perlindungan Anak" misalnya akan membuat awak pers yang bersikap cendekia dengan memilih "pelindungan" akan menjadi kikuk untuk mengganti menjadi "Komisi Pelindungan Anak". Kata nama sepertinya kebal untuk disalahkan dan wajib diikuti.

Awak pers juga akan mati nyali untuk menulis dengan betul kata-kata dalam bahasa teks kenegaraan yang terasa keramat seperti misalnya pada sila pertama teks dasar negara Pancasila. "Ketuhanan Yang Maha Esa" akan menjadikan jurnalis terkutuk oleh lingkungannya ketika harus membetulkannya dengan ejaan "Ketuhanan yang Mahaesa".

Ada guyonan di kalangan pegawai Pusat Bahasa: penggabungan "maha" sebagai bentuk terikat dengan kata yang mengikutinya "esa" akan membuat kata gabungan itu menyerupai nama kerbau dalam konteks sejarah Majapahit.

Ada satu lagi salah kaprah dalam menggunakan kata yang paradigmatik dalam bahasa Indonesia yang kalangan sarjana dan penulis terpelajarpun sering melakukannya. Meskipun Anton M Moejnono berulang kali mengingatkan soal ini, tampaknya tak ada yang menggubrisnya.

Editor di media massa pun tak membetulkan tulisan-tulisan opini dari pakar yang menulis "pembelajaran" bukan sebagai "tindakan membelajarkan" tapi sebagai "tindakan belajar".

Padahal untuk makna "tindakan belajar" atau dalam bahasa Inggris "learning", kata yang betul adalah "pemelajaran". Pers bisa dikatakan gagal dalam menggunakan bahasa secara cendekia.

Sikap jurnalis yang cendekia harus menerima perubahan. Artinya, ketika yang lazim sudah terbukti salah berdasarkan kaidah paradigmatik dalam perkara linguistik, awak pers mesti meninggalkan kelaziman itu.

Berbahasa secara cerdas dari kalangan awak pers juga diakibatkan lemahnya kemampuan awak pers dalam memahami prinsip berbahasa jurnalistik. Sudah umum di kalangan jurnalis domestik bahwa mereka bersikap membebek dalam menuliskan pernyataan yang keluar dari mulut narasumber.

Apa yang diucapkan oleh narasumber ditulis mentah-mentah tanpa ada ikhtiar untuk memperbaikinya. Narasumber dari kalangan pejabat publik paling sering membuat pernyataan dengan kata-kata yang maknanya menyesatkan.

Beberapa contoh bisa disebut di sini, kebetulkan kasus ini narasumbernya kalangan pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Yang pertama kasus "bus way", yang dimaknai sebagai "alat transportasi" atau "busnya" bukan "jalurnya". Yang kedua kasus "pedestrian" untuk merujuk "trotoar bagi pejalan kaki", padahal kata itu bermakna "pejalan kaki".

Dalam hal semacam ini, jurnalis harus berani melakukan pembetulan alias koreksi. Yang lucu, di kalangan jurnalis ada anggapan naif bahwa ketika mengutip secara langsung ucapan narasumber, jurnalis diharamkan untuk mengubah-ubah.

Pengubahan dalam tataran gramatikal pastilah bisa ditoleransi. Jika kesalahan itu berlangsung pada wilayah semantik, maka masih ada jalan untuk melakukan koreksi. Jalan itu bernama teknik parafrasa: menggunakan kata-kata sendiri dalam format kutipan tak langsung.

Tampaknya, sikap berbahasa kalangan jurnalis untuk membetulkan yang salah kaprah dalam penggunaan bahasa di masyarakat perlu diwujudkan. Harapan untuk itu harus didengungkan karena itulah salah satu tugas pencerahan, dalam hal ini pemakaian bahasa yang betul, dari jurnalis untuk awam. (*)

Oleh Mulyo Sunyoto
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2013