Yogyakarta (ANTARA) - Sejumlah akademisi Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) mengusulkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menghentikan proses revisi Undang-Undang Penyiaran karena dinilai terburu-buru serta berpotensi membungkam kebebasan pers.

"Kami mengusulkan agar Pemerintah dan DPR RI menghentikan proses revisi. Bahwa nanti kalau mau dibahas lagi silakan, tapi harus mulai dari awal sudah terbuka, orang diajak ngomong, bukan kemudian ujug-ujug muncul mau direvisi," kata pengajar Prodi Ilmu Komuniksi UMY Senja Yustitia saat konferensi pers di Kampus UMY, Yogyakarta, Jumat.

Menurut Senja, proses revisi UU Penyiaran selayaknya berlangsung transparan dan demokratis dengan melibatkan jurnalis, akademisi, periset media, orang-orang yang terlibat dalam industri penyiaran, termasuk masyarakat umum.

"Prosesnya memang harus panjang melelahkan terbuka, demokratis, karena ini ngomongin legislasi. Jadi memang tidak boleh serampangan dan tidak boleh terburu-buru," ujar dia.

Menurut dia, manakala regulasi hasil revisi tersebut diratifikasi menjadi UU maka bakal mengikat dan berdampak bagi kebebasan pers, termasuk masyarakat luas dalam berdemokrasi.

"Pers itu kan pilar keempat, kalau eksekutif, yudikatif, legislatif tidak bisa kita harapkan, maka pada media-lah kemudian kita bersandar," ujar dia.

Fajar Junaedi, Kaprodi Ilmu Komunikasi UMY menyebut ada beberapa pasal bermasalah dan berpotensi menghalangi kebebasan pers dalam revisi UU Penyiaran tersebut, salah satunya berkait larangan konten jurnalisme investigasi.

Padahal, kata Fajar, jurnalisme investigasi merupakan salah satu strategi pers dalam mengawasi jalannya pemerintahan, baik di level eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

Demikian pula pasal yang menyatakan bahwa konten siaran di internet harus patuh pada Standar Isi Siaran (SIS), dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) diberi wewenang untuk melakukan penyensoran di media sosial.

"Ancaman lain bahwa pemberitaan di media dapat dijerat dengan pasal pencemaran nama baik. Poin ini sangat mengancam kemerdekaan pers di Indonesia," kata dia.

Masalah lain yang ditemukan Fajar, adalah tumpang tindihnya kewenangan antara KPI dengan institusi lain, seperti Dewan Pers dalam mengatasi sengketa produk jurnalistik.

Padahal, kata dia, selama ini berita dalam bentuk apapun, baik cetak, elektronik, serta digital adalah produk jurnalistik dan merupakan kewenangan Dewan Pers yang tertuang dalam Undang-undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Dia menekankan proses revisi undang-undang tersebut menerapkan prinsip kehati-hatian karena mengatur tentang penggunaan frekuensi penyiaran yang merupakan milik publik dan jumlahnya terbatas.

Pengajar lain di Prodi Ilmu Komuniksi UMY Tri Hastuti Nur Rochimah mengatakan berdasarkan draf RUU Penyiaran yang telah ia baca, UU Pers justru sama sekali tidak dimasukkan sebagai konsideran.

Karena itu, dia menilai keinginan DPR untuk buru-buru mengesahkan RUU Penyiaran sebelum masa jabatannya sebagai wakil rakyat periode 2019-2024 berakhir terkesan sekadar kejar tayang sehingga tanpa melibatkan partisipasi masyarakat.

"Kalau ini sampai disahkan kami sangat khawatir sekali karena peran pers sebagai pilar demokrasi menjadi dikebiri dan tidak berfungsi lagi," ujar Tri.

Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi juga meminta revisi Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran harus mengakomodasi masukan dari semua pihak, utamanya insan pers untuk mencegah timbulnya kontroversi.

Budi Arie mengatakan, sebagai mantan jurnalis, dirinya berharap agar RUU Penyiaran tidak memberikan kesan sebagai "wajah baru" pembungkaman pers.

Pembahasan RUU ini perlu mengakomodasi masukan dari berbagai elemen, utamanya insan pers demi mencegah munculnya kontroversi yang tajam.

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2024