Badung, Bali (ANTARA) - Air merupakan elemen mendasar bagi semua aspek kehidupan. Air menjadi sumber kehidupan yang mendukung kesehatan, produksi pangan hingga keberlangsungan suatu ekosistem. Maka dari itu, akses terhadap air yang layak sudah sepantasnya menjadi bagian dari hak asasi manusia.
Namun begitu, hanya sekitar 2,5 persen air di bumi yang merupakan air tawar, dan kurang dari 1 persen yang dapat diakses untuk kebutuhan manusia. Realita yang terjadi saat ini, apabila masyarakat di satu negara dapat menikmati akses air bersih, belum tentu masyarakat di negara lain mampu menikmati hal yang serupa.
Contohnya, krisis air yang terjadi di India. Setiap musim panas tiba, air menjadi komoditas yang sama berharganya dengan emas di India, terutama di wilayah pedesaan.
United Nations University - Institute for Environment and Human Security (UNU-EHS) mencatatkan, hampir 70 persen air di India sudah terkontaminasi. Sedangkan, pada tahun 2030, kebutuhan air di India diperkirakan bakal meningkat dua kali lipat dari jumlah yang tersedia.
Potensi kelangkaan air itu akan berdampak pada jutaan orang serta mempunyai efek domino yang buruk terhadap produk domestik bruto (PDB) negara tersebut.
Perubahan iklim kian memperburuk masalah ini, membuat banjir dan kekeringan kerap melanda negara yang dijuluki Anak Benua itu. Hal ini diperparah dengan ketergantungan pada musim hujan, sehingga setiap terjadi ketidakteraturan pada pola curah hujan, maka akan secara langsung memengaruhi ketersediaan air.
Tak hanya itu, pertanian India yang mengonsumsi sekitar 80 persen sumber daya air juga sangat terpengaruh oleh kelangkaan air. Kurangnya air yang memadai untuk irigasi mengurangi hasil panen, menyebabkan ketidakamanan pangan dan ketidakstabilan ekonomi bagi jutaan petani.
Kondisi ini tidak hanya terjadi di pedesaan, daerah perkotaan juga tidak luput kena imbasnya. Kota-kota besar seperti New Delhi, Bangalore, dan Chennai menghadapi kekurangan air dengan masyarakat yang masih bergantung dari truk air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
Kasus di India menjadi satu contoh kecil dari banyaknya kasus krisis air yang melanda belahan bumi lain. Belum lagi jika berbicara daerah konflik seperti Afghanistan dan Gaza di mana air bersih menjadi suatu komoditas yang berharga. Bahkan, satu pihak rela berkonflik dengan pihak lainnya demi memperebutkan sumber daya air yang layak.
Isu ini menjadi permasalahan pelik yang turut dibahas dalam gelaran World Water Forum ke-10 2024 di Bali.
Dalam World Water Forum ke-10, tampak bahwa ketidakadilan akses terhadap air yang layak menjadi problema yang cukup kompleks. Kendati isu ini dari tahun ke tahun semakin menonjol dalam agenda politik, namun masih saja 40 persen populasi dunia menghadapi ancaman kelangkaan air dan lebih dari 90 persen bencana iklim disebabkan oleh air.
Forum tiga tahunan yang mengangkat tema “Air untuk Kesejahteraan Bersama” atau “Water for Shared Prosperity” ini menjadi harapan bagi negara-negara kecil yang terdampak sebagai wadah untuk menyuarakan pendapat hingga menggodok solusi bersama-sama.
Jalan berliku
Dalam berbagai sesi diskusi panel di World Water Forum ke-10, banyak para pemangku kepentingan (stakeholder) dan akademisi yang menekankan bahwa infrastruktur air yang memadai menjadi jalan keluar dari permasalahan krisis air dan sanitasi.
Secara teknis, infrastruktur air memang masih menjadi kunci untuk memastikan ketersediaan air bersih dalam jangka panjang. Manajemen infrastruktur yang baik juga termasuk pemantauan yang cermat dan distribusi air yang bijaksana.
Dengan mengadopsi berbagai teknologi yang maju untuk diterapkan ke dalam infrastruktur air, maka dapat membantu memaksimalkan efisiensi penggunaan air. Hal ini diamini Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono. Menurutnya, permasalahan air global salah satunya dapat diselesaikan dengan membangun infrastruktur air yang merata dan memadai.
Di Indonesia sendiri yang merupakan negara kepulauan, masih dihantui oleh risiko krisis air. Beberapa wilayah terluar masih mengalami kesulitan mengakses air. Bahkan berdasarkan World Resources Institute, Indonesia berisiko mengalami krisis air pada 2040.
Menyadari pentingnya infrastruktur air, Pemerintah Indonesia menjajaki kerja sama dengan Bank Investasi Infrastruktur Asia atau Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) terkait dukungan skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dalam pembangunan infrastruktur konektivitas, sumber daya air, dan permukiman saat World Water Forum ke-10 2024.
Kendati demikian, perjalanan dalam membangun infrastruktur air yang merata dan layak nyatanya menemui banyak jalan berliku. Dalam World Water Forum ke-10, setidaknya ada dua tantangan yang menjadi pembahasan untuk memahami kurangnya pembangunan infrastruktur air bersih yang layak, khususnya di wilayah-wilayah pedesaan.
Pembiayaan dan riset
Tantangan pertama, yakni kurangnya investasi pada infrastruktur air. Menteri Keuangan RI Sri Mulyani saat menyampaikan sambutan dalam sesi diskusi World Water Forum mengatakan bahwa pembiayaan di sektor air dan sanitasi saat ini masih sangat bergantung pada pemerintah atau sektor publik yang jumlahnya sedikit jika dibandingkan dengan target yang dibutuhkan.
Berdasarkan laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kebutuhan dana untuk infrastruktur air pada 2030 diproyeksikan mencapai sekitar 6,7 triliun dolar AS, sementara sektor air global saat ini hanya menarik kurang dari 2 persen belanja publik. Dalam hal ini tantangannya jelas, yakni ketimpangan atau gap pembiayaan infrastruktur air yang cukup besar.
Untuk itu, tidak cukup apabila hanya mengandalkan peran dari pemerintah, melainkan juga diperlukan adanya peranan dari pihak swasta guna mempercepat pembangunan infrastruktur air.
Dalam ajang World Water Forum ke-10 ini, Pemerintah Indonesia menginisiasi adanya Dana Air Dunia atau Global Water Fund sebagai jawaban atas ketidakmerataan akses air bersih di negara-negara yang rentan.
Sebagai tuan rumah sekaligus bagian dari G20, Indonesia mempunyai peluang serta daya tawar (bargaining power) dalam mengusulkan Global Water Fund ke dalam pembahasan forum internasional.
Dalam wawancara khusus bersama ANTARA, Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Kementerian PUPR, Herry Trisaputra Zuna, membeberkan bahwa secara konsep, Global Water Fund akan sama seperti program pembiayaan sejenis.
Nantinya, Global Water Fund mempunyai cakupan di seluruh negara. Dana para donatur akan dimobilisasi atau ‘diputar’ guna membiayai proyek-proyek infrastruktur di sektor sumber daya air dan sanitasi.
“Dengan dibentuk Global Water Fund, yang diharapkan kita bisa memobilisasi resources, jadi ada negara-negara yang butuh, mungkin ada juga negara-negara yang dari sisi pendanaan berlebih ini bisa dilakukan secara cross-sectoral dan sifatnya dananya bergulir, sifatnya adalah investasi," katanya.
Di samping itu, Global Water Fund dapat menjadi langkah untuk meningkatkan skala atau ‘scale up’ suatu proyek infrastruktur air. Dengan skema tersebut, maka proyek dapat lebih berjalan secara berkelanjutan.
Menakar langkah diplomatis Indonesia dalam menawarkan pembentukan Global Water Fund di World Water Forum tahun ini, maka program ini mempunyai peluang untuk terealisasi. Program ini memerlukan kolaborasi yang luas, melintasi batas negara maju dan genggaman tangan para investor swasta.
Meskipun telah mendapat angin segar dari lembaga-lembaga internasional ternama seperti Bank Dunia (World Bank) dan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank), mekanisme dan aturan Global Water Fund harus dirancang dan ditulis dengan jelas. Tahap ini lah yang masih belum dirancang baik oleh Pemerintah Indonesia.
Kualitas dan kapasitas institusi yang ditunjuk untuk menaungi program Global Water Fund menjadi kunci utama. Ekonom Senior Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Teuku Riefky menilai, tanpa adanya institusi yang stabil sebagai penopang, maka pengelolaan dana proyek infrastruktur air hanyalah angan-angan belaka.
Mengingat Pandemic Fund yang berada di bawah naungan Bank Dunia dan G20, program tersebut berjalan dengan lancar. Pun dengan Global Water Fund yang tentu membutuhkan institusi penopang yang juga tangguh.
“Kita melihat Pandemic Fund yang dikelola oleh World Bank dan G20 berjalan dengan efektif. Tanpa institusi yang berkualitas, dana ini bisa jadi sia-sia,” ungkap Riefky.
Kemudian, tantangan selanjutnya yang perlu menjadi sorotan lain yakni perlunya memperluas akses riset terkait pangkal masalah krisis air hingga teknologi dalam infrastruktur yang mampu menyelesaikannya. Bagaimanapun, pembuatan kebijakan konservasi air harus berlandaskan data-data yang valid serta riset mendalam.
Dalam pidato pembukanya di ajang World Water Forum ke-10, pendiri sekaligus CEO Tesla dan SpaceX, Elon Musk, juga menyampaikan bahwa permasalahan air dunia saat ini sebenarnya dapat diselesaikan dengan metode desalinasi air laut, mengingat 72 persen permukaan bumi merupakan perairan.
Desalinasi air laut sendiri merupakan proses menghilangkan kadar garam dari air sehingga air tersebut menjadi air bersih yang dapat dikonsumsi masyarakat. Proses desalinasi sebenarnya dinilai sebagai proses yang membutuhkan energi dan mahal. Namun proses tersebut dapat diterapkan dengan efektif dan murah apabila memanfaatkan energi surya.
Dengan kata lain, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dapat menjadi solusi yang jitu dan murah untuk menyelesaikan krisis air melalui desalinasi air laut. Namun, metode tersebut hingga saat ini masih dalam tahap penelitian lebih lanjut dan uji coba.
Kolaborasi bersama menjadi kunci
Di tengah urgensi krisis air yang melanda negara-negara rentan seperti India dan Indonesia, kolaborasi lintas sektor dan komitmen bersama menjadi pondasi utama dalam upaya mencapai akses air bersih yang adil.
Global Water Fund yang diusulkan dalam World Water Forum ke-10 menawarkan harapan baru dengan menyediakan sumber daya yang sangat diperlukan untuk membangun infrastruktur air. Namun, keberhasilan program ini bergantung pada kesediaan semua pihak untuk memprioritaskan pembangunan jangka panjang alih-alih mencari keuntungan instan.
Contoh yang telah ditunjukkan oleh Dana Air Indonesia atau Indonesia Water Fund menggarisbawahi pentingnya komitmen nasional dalam menangani masalah air dan sanitasi.
Investasi dalam infrastruktur air harus dipandang sebagai usaha jangka panjang yang membutuhkan waktu, dedikasi, dan kesabaran hingga 10 hingga 15 tahun. Selain itu, dukungan terhadap riset teknologi infrastruktur air harus terus dikuatkan. Kolaborasi antara stakeholder dan akademisi sangat krusial untuk memastikan teknologi manajemen air yang inovatif dapat diimplementasikan secara efektif.
Dari segi riset, melalui diskusi dan panel yang intensif di World Water Forum ke-10, para akademisi telah menawarkan berbagai ide dan solusi teknologi yang siap dikembangkan.
Kini, saatnya bagi semua pihak untuk memprioritaskan kolaborasi dan mengambil langkah nyata. Hanya dengan kolaborasi global yang terkoordinasi, tujuan mulia untuk menyediakan akses air bersih yang adil bagi semua di seluruh dunia dapat tercapai.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024