Jakarta, (ANTARA News) - Permasalahan daerah aliran sungai (DAS) seringkali ditangani dengan penerapan teknologi yang salah misalnya untruk mengatasi banjir dilakukan "normalisasi" sungai seperti yang terjadi pada sungai Ciliwung dan Cisadane. "Teknologi yang pernah dipakai di Eropa dan telah disadari keliru dan telah ditinggalkan, sayangnya masih dipakai di Indonesia," kata Kepala Puslit Limnologi LIPI, Dr Gadis Sri Haryani di sela Seminar Nasional Limnologi tentang Pengelolaan Sumber Daya Perairan Darat secara Terpadu di Indonesia, di Jakarta, Selasa (5/9). Teknologi salah dalam memperlakukan sungai itu misalnya normalisasi berupa pelurusan, pengerasan dinding sungai, pembuatan tanggul dan pengerukan serta penghilangan tumbuhan, lumpur, pasir, dan batuan di kiri kanan sungai. Diakuinya, normalisasi sungai telah dilakukan di masa lalu di dunia seperti di negara-negara seperti AS, Jerman, Belanda, Jepang dan lain-lain, namun belakangan diketahui dampak negatif perubahan itu terhadap ekologi sangat besar dan kini telah ditinggalkan. Pengabaian daerah peralihan antara dua ekosistem atau lebih yang sering disebut sebagai daerah ekoton, misalnya daerah tepi sungai, karena dianggap tak bermanfaat, ujar Gadis, sangat disayangkan. Pengabaian itu, ujarnya, menyebabkan hilangnya berbagai kemampuan dan potensi daerah tersebut termasuk kemampuan mengontrol aliran energi dan nutrien yang diperlukan biota yang hidup di sana. "Hilangnya daerah ekoton akhirnya berdampak pada manusia sendiri karena terjadi banjir di hilir, erosi di dasar sungai yang menyebabkan longsor dan sedimentasi atau pendangkalan di hilir karena tererosinya material sepanjang sungai, serta terputusnya daur kehidupan pendukung ekosistem," katanya. Ia mencontohkan sungai Kayamanya yang karena mengalami "normalisasi" dengan pembuatan dinding beton dan penghilangan batuan kecil dan tumbuhan di kiri-kanan sungai menyebabkan tempat berlindung anakan ikan sidat dari arus kuat dan tempat mencari makan hilang. Melihat besarnya kerugian akibat hilangnya daerah ekoton, negara-negara maju mulai mengembalikan sungai dari pelurusan ke kondisi alamiahnya ke kelokan aslinya, mengisi sungai dengan batuan kecil seperti Sungai Danube di Austria dan sungai lainnya di Jerman, ujarnya. Ia menambahkan, pelurusan beberapa sungai di Indonesia agar air deras dari hulu bisa langsung mengalir ke hilir menjadi sia-sia karena justru menyebabkan daerah bekas kelokan sungai yang telah menjadi pemukiman kebanjiran. Tercatat, di Indonesia terdapat 13,7 juta hektar perairan darat meliputi sungai, danau, waduk hingga perairan lahan basah dan memiliki potensi sumber air bersih, sumber produksi pangan dan pakan, sumber energi air, dan sumber kenyamanan. Diperkirakan ada 6.000 DAS besar dan kecil di Indonesia, 500 danau dengan total luas 491.724 hektar atau 0,25 persen dari luas daratan Indonesia, dan 22,16 juta hektar lahan basah dan rawa.(*)

Copyright © ANTARA 2006