Gangguan jiwa bukan hanya berpengaruh terhadap pasien, tetapi juga terhadap keluarga."
Kulon Progo (ANTARA News) - Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), membentuk Desa Siaga Sehat Jiwa (DSSJ) untuk menangani masyarakat yang mengalami gangguan jiwa, kata Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kulon Progo Bambang Haryatno.

Hal itu berkaitan dengan cukup tingginya jumlah penderita gangguan jiwa, padahal penyakit ini bisa dicegah dan diminimalisir, serta disembuhkan, ujarnya di Kulon Progo, Minggu.

"Satu dari 10 orang yang menderita gangguan jiwa. Fenomena gangguan jiwa seperti gunung es, karena tidak dapat terdeteksi dan tidak mendapatkan perawatan dan pengobatan yang tepat dan belum mendapatkan penanganan rehabilitasi. Upaya yang akan kami lakukan diantaranya pengembangan DSSJ," kata Bambang.

Bambang merinci, berdasarkan data 2009 hingga 2013 memperlihatkan jumlah penderita gangguan jiwa di Kulon Progo masih cukup tinggi, dan pasung sendiri sebanyak 18 kasus, yang terdiri dari sembilan laki-laki dan sembilan perempuan.

Dinas Kesehatan Kulon Progo mencatat, kunjungan penderita kasus skizophrenia pada 2009 sebanyak 3.757 orang, pada 2010 sebanyak 2.027 orang, pada 2011 ada 1.979 orang, pada 2012 sebanyak 3.260 orang, dan pada 2013 sebanyak 2.752 orang.

Bambang mengatakan, dari 18 kasus pasung yang ada di Kulon Progo ada empat pasien dirawat di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Ghrasia Pakem, Sleman, dan ada yang sudah kembali ke keluarga maupun masyarakat, sedangkan yang lain dalam proses penjemputan oleh RSJ Ghrasia bekerja sama dengan dinas kesehatan dan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) di Kulon Progo.

"Kasus gangguan jiwa berat masih banyak ditemukan dari kunjungan lima tahun, kasus skizophrenia dan psikotik kronik menduduki urutan pertama," katanya.

Dia mengemukakan, upaya yang selama ini sudah dilakukan oleh dinas kesehatan, yakni pertemuan tim pelaksana kesehatan jiwa masyarakat (TPKJM), penyuluhan kepada masyarakat baik secara langsung maupun melalui media massa, deteksi dini, pengobatan, rujukan penderita, kunjungan ke rumah penderita, integrasi RSJ Ghrasia ke puskesmas dan pembentukan DSSJ.

"Penanganan orang dengan gangguan jiwa dalam kondisi akut perlu perawatan dan fasilitas kesehatan. Namun, setelah dirawat di rumah sakit, orang dengan gangguan jiwa maupun keluarga dan masyarakat belum siap menerima karena stigma gangguan jiwa masih kuat," ujarnya.

Ia menimpali, "Gangguan jiwa bukan hanya berpengaruh terhadap pasien, tetapi juga terhadap keluarga."

Oleh karena itu, ia menambahkan, penanganan masalah gangguan jiwa merupakan tanggung jawab semua pihak.

"Kami akan menyediakan penanganan komunitas, sehingga mampu mempercepatkan orang gangguan jiwa pasca-keluar rumah sakit," demikian Bambang. (*)

Pewarta: Sutarmi
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2014