Surabaya (ANTARA News) - Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya tetap tidak mengizinkan pembuangan lumpur panas dari proyek PT Lapindo Brantas Inc. di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, ke Sungai Porong dan Selat Madura tanpa melalui proses pengolahan penjernihan terlebih dulu. "Meski hasil uji TCLP, LD 50, dan LC 50 terbukti luapan lumpur panas Lapindo di Porong, Sidoarjo itu tidak beracun, kami tidak mengizinkan pembuangan ke sungai Porong dan Selat Madura," ujar Koordinator Tim ITS Surabaya, Prof Ir Noor Endah MSc PhD, di Surabaya, Kamis. Ia mengemukakan hal itu saat membacakan salah satu butir kesimpulan dalam simposium "Pembuangan Lumpur Porong Sidoarjo ke Laut?" yang juga menampilkan pembicara dari Kementerian Lingkungan Hidup (LH), Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), serta Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dalam kesimpulan yang disampaikan di akhir acara tersebut, ITS sebagai penyelenggara juga menyampaikan usulan perlunya pernyataan permintaan maaf dari PT Lapindo Brantas Inc, BP Migas, Departemen ESDM (Direktorat Jenderal Migas), dan instansi pemerintah lain terkait bencana luapan lumpur yang menimbulkan kesusahan masyarakat Jawa Timur. Selain itu, ITS juga menyarankan, agar pemerintah perlu menetapkan bencana semburan lumpur Sidoarjo sebagai bencana nasional dan perlunya ada satu komando yang jelas dengan kewenangan penuh dalam penanganan bencana semburan lumpur. Menurut Noor Endah yang juga Pembantu Rektor (PR) I (Bidang Akademik) ITS Surabaya itu, persoalan lumpur Lapindo bukan pada persoalan beracun atau tidak, tapi pada volumenya yang sangat besar. "Karena itu, lumpur tidak boleh dibuang langsung ke Kali Porong dan atau ke Selat Madura. Lumpur harus dipisahkan terlebih dahulu dari air, kemudian air yang telah dipisahkan dari lumpur melalui proses pengolahan itu baru dapat dibuang ke laut setelah mendapat izin dari Kementerian Lingkungan Hidup," ujarnya. Untuk lumpur yang meluap mencapai sekira 50.000 meter kubik per hari sejak 29 Mei 2006 itu, menurut dia, dapat ditempatkan di lahan basah (wetland) dengan memanfaatkan bakau (mangrove) sebagai penyaring polutan. Dalam sambutan pembukaan, Rektor ITS, Prof Dr Ir Mohammad Nuh DEA, mengatakan bahwa bukan saatnya lagi menangani persoalan lumpur Lapindo dengan pendekatan-pendekatan organisasi bersistem matriks, tapi harus dilebur dalam satu komando. "Alasannya jelas, karena persoalannya sudah multi disiplin dan lintas sektoral, sehingga diperlukan komando yang jelas. Masing-masing disiplin ilmu yang punya kewenangan sendiri-sendiri, tidak lagi harus mempertahankan pendapat masing-masing dan mau menangnya sendiri, dalam situasi yang kompleks seperti saat ini," tegasnya. Namun, ia menegaskan, harus dicari titik optimum untuk mencari penyelesaian terbaik. "Melalui sistem komando semua kewenangan langkah dan strategi harus melalui komandan tersebut, sehingga tidak ada lagi pernyataan bias dan membingungkan masyarakat," katanya Ia menilai organisasi lini (satu komando lurus) itu hendaknya merupakan organisasi non-birokrat, agar dapat bergerak cekatan dan dapat memberi perhatian yang sungguh-sungguh dalam mengatasi luapan lumpur di sumur eksplorasi Lapindo Brantas Inc di Porong, Sidoarjo. "Organisasi yang melekat pada birokrasi selama ini terbukti kurang cekatan, meski sudah serius, karena birokrasi memang mempunyai tugas rutin sendiri. Misalnya, Menteri PU Djoko Kirmanto sebagai birokrat kan sudah punya tugas rutin, karena itu perlu ada tim independen yang dapat bergerak cekatan dan waktunya tak terbatas untuk serius berpikir," katanya. Dalam masalah pembuangan ke laut juga sempat disinggung staf ahli Menteri Kelautan dan Perikanan, Prof Sahala Hutabarat. "Kami menolak jika lumpur Lapindo dibuang ke laut sebelum ada kajian, baik kajian keamanan ekosistem serta water treatmen. Itu penting untuk memberi jaminan terhadap ekosistem dari mata pencaharian masyarakat di sekitar pesisir, apalagi perekonomian di sekitar selat Madura mencapai Rp1,7 triliun," tambahnya. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006