Oleh Munawar Saman Makyanie, ANTARA News Kairo "Saya adalah putra dari dua peradaban dunia, pertama adalah peradaban Fir`aun yang telah berusia 7.000 tahun, dan lainnya ialah Islam yang berusia 1.400 tahun," demikian Naguib Mahfouz kerap menyebut dirinya. Naguib Mahfous, novelis Mesir peraih Nobel bidang kesusastraan pada 1988 itu menghembuskan nafas terakhirnya, pekan lalu ketika usianya menginjak 95 tahun. Pernyataan sastrawan kaliber dunia tersebut seolah menegaskan pengakuan bahwa dirinya adalah penganut Muslim taat kendati beberapa kalangan ulama Al-Azhar sempat menudingnya sebagai "kafir". Hingga akhir hayatnya, pertarungan panjang sejak setengah abad silam antara Naguib Mahfouz dan Al-Azhar tidak menemukan titik temu, dan kedua pihak tidak pernah duduk semeja untuk memecahkannya. Kendati demikian, Syeikh Agung Al-Azhar Prof Dr Mohamed Sayed Tantawi menjadi imam shalat jenazah Mahfouz di Masjid Al-Rashdan, Madinat Nasr, yang dihadiri kalangan ulama, petinggi negara, politisi, budayawan, kaum intelektual, para sastrawan dan masyarakat umum. Seusai shalat jenazah, Syeikh Tantawi, Mufti Nasional Mesir Syeikh Aly Goumah, dan Menteri Waqaf Mahmoud Hamdi Zakzouk secara bergantian memberi sambutan, yang isinya berupa sanjungan atas jasa-jasa almarhum. "Tak bisa dipungkiri, Naguib Mahfouz telah mengharumkan nama Mesir di mata masyarakat dunia. Pemikiran-pemikirannya mengangkat derajat kebudayaan Mesir klasik dan modern," kata Syeikh Al-Azhar dalam sambutannya sesuai mengimami shalat jenazah di mesjid militer itu. "Pemerintah dan seluruh rakyat Mesir berhutang budi kepada almarhum Naguib Mafouz. Beliau berjasa besar dalam mewariskan khazanah pemikiran yang sarat kandungan budaya, filosofi, dan sisi-sisi kemanusiaan," tutur Syeikh Aly Goumah. Sementara Menwaqaf Zakzouk menimpali, "Mesir beruntung memilki seorang Naguib Mahfouz, di mana pemikiran-pemikiran sastranya menggema di seberang benua, yang dihormati kawan maupun lawan". Sanjungan kepada Mahfouz dari tiga tokoh Al-Azhar, yang juga pimpinan Lembaga Riset Al-Azhar, itu mengesankan tak ada konflik dengan sang novelis. Penilaian itu dikemukakan kritikus sastra Mohsen El-Kashaf. "Berkenannya Syeikh Agung Al-Azhar menjadi imam shalat jenazah Mahfouz itu secara tidak langsung bahwa Al-Azhar memberi maaf sang novelis", ujarnya. Namun, persoalannya tidak semudah itu. Pasalnya, sebuah fatwa yang dikeluarkan Lembaga Riset Al-Azhar 50 tahun silam itu sampai kini belum dicabut. Fatwa tesebut menyatakan melarang novel Naguib Mahfouz, Awlad Haretna (Anak-anak di Gang Kami), yang mengawali pertarungan antara sang novelis dan Al-Azhar. Dewan Riset Al-Azhar ketika fatwa itu dikeluarkan dipimpin Syeikh Agung Al-Azhar, Syeikh Ibrahim Hamroush (1880-1960). Dewan riset yang beranggotakan para ulama itu berpendapat bahwa novel tersebut mengandung penghinaan terhadap Tuhan, Islam, dan Nabi Muhammad SAW. Dewan Riset Al-Azhar dalam hukum positif Mesir diberikan otoritas mutlak untuk memelihara nilai-nilai Islam yang termaktub dalam Al-Quran dan Hadist Nabi Muhammad dari distorsi intelektual. Oleh karena itu, lembaga tersebut berhak melarang buku-buku atau penerbitan-penerbitan yang dinilai mencemarkan nama Islam atau Nabi Muhammad SAW. Bahkan, menurut Ragaa Al-Naqqash, wartawan Al-Ahram yang telah beberapa kali mewawancarai Naguib Mahfouz, mendiang Presiden Gamal Abdel Nasser pun tidak kuasa meminta Al-Azhar mengurungkan fatwanya, kendati Kepala Negara Mesir itu secara pribadi mendukung sang novelis. "Otoritas mutlak Dewan Riset Al-Azhar membuat Presiden Nasser tidak berkutik, meski ia (Nasser) secara personal menyatakan simpati kepada Mahfouz," kata Raga Al-Naqqash. Awlad Haretna Novel Awlad Haretna bermakna "anak-anak di gang kami" yaitu sebuah lorong di Gabelawi, tempat bermukim Naguib Mahfouz semasa lahir bersama orang tuanya di Distrik Hussein, jantung kota Kairo. Inti Awlad Haretna secara simbolik menggambarkan sejarah agama-agama monoteistik Nabi Ibrahim. Tokoh-tokoh dalam cerita itu adalah Tuhan, Adam, Idris, Musa, Isa Almasih, dan Nabi Muhammad. Gabalawi disimbolkan sebagai Tuhan, Isa disimbolkan sebagai Rifaat, dan Nabi Muhammad disimbolkan sebagai Qasim. Gabelawi lebih menyayangi Adam ketimbang anak-anak lainnya mencakup Idris, Iblis, Musa, Isa, dan Nabi Muhammad. Keluarga anak-anak itu digambarkan sama-sama tinggal di salah satu bagian gang. Anak-anak tersebut disimbolkannya sebagai Yahudi, Kristen, dan Islam. Dikemudian hari muncul tokoh Arafah, manusia modern yang memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi, dan dapat menghancurkan penindas-penindas di gang tersebut. Karuan saja, kalangan ulama Al-Azhar menilai karya fiksi itu telah menjurus pada menghakimi para nabi dan agama-agama, dan menudingnya sebagai anti Al-Quran. Novel kontroversial tersebut pertama kali diterbitkan secara serial berupa cerita bersambung di suratkabar Al-Aharam pada 1956, yang ketika itu pemimpin redaksinya Mohamed Hasaneyn Heykal. Cerita itu muncul di al-Ahram setiap hari selama lebih sebulan, 21 September hingga 25 December 1959. Kendati mulai ditentang setelah cerita itu beberapa hari beredar edisi cerber, Heykal -tokoh pers yang disegani di Mesir -tidak pernah peduli dan tetap memuat cerita bersambung tersebut. Kontroversi Awlad Haretna tidak berhenti di situ, bahkan berlangsung hingga akhir hayat sang novelis. Pada 1989, Syeikh Omar Abdul Rahman, tokoh garis keras Mesir yang kini mendekam di penjara Amerika Serikat atas tuduhan berada di balik konspirasi serangan bom di World Trade Center di New York pada 1993, mengecam novel itu. Syeikh Omar menuding Komite Nobel salah kaprah dengan memberikan hadiah Nobel kepada Mahfouz sebagai imbalan atas novel Awlad Haretna yang melecehkan Islam. Belakangan pada 1994, Naguib Mahfouz selamat dari percobaan pembunuhan, yang diduga kuat dilakukan oleh anak buah Syeikh Omar, pemimpin Jihad Islam, organisasi terlarang di Mesir. Kendati demikian, Naguib Mahfouz menyatakan tidak menyimpan dendam kepada para pelaku percobaan pembunuhan itu. "Bahkan pada hari yang sama saya telah memaafkan mereka," jawab Mahfouz dalam wawancara dengan Al-Ahram Maret lalu. Dalam perjalanannya, meski dilarang di Mesir, Awlad Haretna pertama kali muncul dan terbitkan dalam bentuk buku oleh penerbit Dar Al-Adab, Beirut, Lebanon pada 1967. Sebelumnya, pada 1962, Dr. Philip Stewart pertama kali menerjemahkan dalam bahasa Inggris sebatas sebagai bahan diskusi akademis. Belakangan, atas izin dari penulis, Stewar menerbitkannya dalam bentuk novel pada 1981. Novel kontroversial itu pun mendunia dan sampai pula ke meja Komite Nobel di Stockholm. Komite Nobel kemudian mempelajari lebih dalam sekitar 40 novel karya Naguib Mahfouz. Pada 1988 Mahfouz ditetapkan sebagai pemenang Nobel bidang sastra. Di Mesir, baru Januari 2006 untuk pertama kali novel itu terbitkan oleh penerbit Al-Ahram kendati fatwa haramnya belum dicabut. Kini, penulis produktif itu telah tutup usia. Presiden Mesir Hosni Mubarak melepas jenazah almarhum dalam upacara kebesaran militer di Kairo, Kamis (31/8) lalu. Shalat jenazah dilakukan dua kali, yaitu di Majid Raya Imam Hussein di pusat kota Kairo sesuai dengan wasiatnya, dan di mesjid militer sebelum penghormatan terakhir oleh Presiden Mubarak dan pemimpin negara itu. Jenazah sastrawan keliber dunia itu dikebumikan di pemakaman keluarga di Jalan Fayyum, luar kota Kairo.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006