Jakarta (ANTARA News) - Komisi Yudisial (KY) mempersoalkan pedoman acara di Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilai tidak memberikan asas kepastian hukum. Ketua KY, Busyro Muqoddas, di Gedung KY, Jakarta, Jumat, mengatakan pedoman acara yang dibuat sendiri oleh MK itu sudah banyak menimbulkan masalah karena tidak memuat secara tegas larangan MK untuk memutus di luar yang dimohonkan. "Ada satu saja pertanyaan kepada MK, tetapi pertanyaan yang fundamental. Pedoman acara di MK itu ada tidak kepastian hukumnya? Seperti misalnya soal memutus di luar yang dimohonkan. Ini tidak jelas. Padahal, karakter prosedur beracara itu harus jelas," tutur Busyro. MK beberapa kali dinilai memutus perkara di luar hal yang dimohonkan, seperti yang terjadi dalam putusan uji materiil UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. MK justru menyatakan delik materiil tidak dapat digunakan dalam pembuktian tindak pidana korupsi, padahal pemohon mempersoalkan kata "dapat" dalam kalimat dapat merugikan keuangan negara. Dalam perkara uji materiil UU KY, pemohon para hakim agung mempersoalkan kata "hakim" yang terdapat dalam UU KY. Hakim agung meminta agar bersama hakim konstitusi dikecualikan dari obyek pengawasan KY. Dalam putusannya, MK tidak mengabulkan permohonan hakim agung itu, tetapi justru menyatakan pasal yang bersangkutan dengan fungsi pengawasan dalam UU KY dibatalkan. Busyro juga memberi contoh lain dari ketidakpastian yang timbul dari pedoman acara yang disusun oleh MK. Ia menuturkan pada sidang uji materiil UU KY yang dimohonkan oleh 31 hakim agung, justru KY yang seakan-akan diberi beban untuk membuktikan. Padahal, menurut dia, secara universal dalam sistem hukum mana pun, pihak yang mendakwa atau yang menggugat adalah pihak yang harus dibebani pembuktian. "Di sidang MK kemarin itu, KY sebagai pihak yang terkait langsung seakan-akan diberi beban pembuktian yang pertama. Ini hukum acaranya gimana? Ini melanggar asas universalitas yang berarti juga melanggar asas kepastian hukum acara," kata Busyro. Tidak seperti hukum acara biasa, lanjut dia, pedoman acara MK tidak memuat larangan hakim untuk memutus perkara yang berkaitan dengan kepentingan diri mereka, sehingga MK bisa leluasa memutuskan perkara yang menyangkut kepentingan mereka, seperti ketika MK menyatakan hakim konstitusi bukanlah obyek pengawasan KY. Padahal, Busyro mengatakan, pasal 5 dan pasal 6 UU Kekuasaan Kehakiman dengan jelas mengatakan hakim tidak boleh memutuskan perkara yang bersangkutan dengan kepentingan dirinya. Menurut UUD 1945 pun, lanjut dia, MK dinyatakan secara jelas termasuk dalam pelaksana kekusaan kehakiman bersama dengan Mahkamah Agung (MA). Busyro mengatakan tata cara beracara, terlebih lagi di MK yang putusannya langsung final dan mengikat tanpa upaya hukum lain, sudah seharusnya diatur dalam produk hukum setingkat UU dan tidak hanya dalam bentuk peraturan semata.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006