Banda Aceh (ANTARA News) - Ribuan korban gempa dan tsunami penghuni berbagai barak pengungsi di Kabupaten Aceh Besar, Senin, sekitar pukul 10.30 WIB, bergerak menuju kantor Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias, untuk menyampaikan tuntutan mereka terkait dengan rumah dan infrastruktur desa yang hingga kini belum selesai dibangun. Wartawan ANTARA di Banda Aceh, melaporkan ribuan pengungsi itu sebelumnya berkumpul dan berorasi di bawah guyuran hujan lebat di Lapangan Blang Padang, ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Kota Banda Aceh. Sebelum bergerak dengan puluhan unit truk, ribuan pengungsi korban gempa dan tsunami di pesisir Aceh Besar, 26 Desember 2004 itu menyanyikan lagu "Indonesia Raya" dan membacakan teks Panca Sila serta membacakan UUD 1945. Para pengungsi mengancam akan menduduki kantor BRR Aceh-Nias, di kawasan Lhueng Bata atau sekitar empat kilometer dari pusat Kota Banda Aceh jika tuntutan mereka tidak segera dipenuhi lembaga yang bertanggung jawab atas rekonstruksi Aceh pasca gempa dan tsunami. Direktur Forum Barak (Forak), Raden Panji Utomo di hadapan ribuan pengunjuk rasa menyatakan para pengungsi mendesak BRR Aceh-Nias agar segera menyelesaikan pembangunan rumah mereka, karena tinggal di barak sudah tidak layak lagi. "Kalau BRR Aceh-Nias tidak mampu menyelesaikan pembangunan rumah permanen seperti yang telah dijanjikan, maka ribuan jiwa pengungsi akan pindah dan tidur di Kantor BRR," katanya. Para pengungsi juga mengikat lambang lembaga Forak itu setengah tiang sebagai petanda mereka masih berduka, meski musibah bencana alam tersebut sudah berlalu dua tahun. "Kalau saja BRR tidak lamban, mungkin hari ini kami sudah bisa tinggal lagi di rumah permanen yang dibangun pemerintah dan pihak donor," kata seorang pengungsi. Seorang pengunjuk rasa Ahmad menyatakan buruknya kinerja BRR itu telah memperpanjang penderitaan korban tsunami. "Staf BRR lebih banyak menyusun konsep dan duduk di kantor dengan gaji besar, sementara kami terus tinggal din tempat yang menyedihkan," katanya. Semnentara itu, warga korban tsunami Desa Lampoh Daya, Kota Banda Aceh, M Wahidi mengatakan sudah saatnya Pemerintah mengkaji ulang keberadaan BRR Aceh-Nias, sebab lembaga itu belum bekerja maksimal jika dibanding gaji dan fasilitas mewah diberikan negara kepada pengawainya. "Sebagian besar warga desa kami belum memiliki rumah permanen. Infrastruktur publik seperti meunasah dan saluran pembuangan air kotor (parit) serta jalan desa masih seperti dua tahun lalu," katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2006