Panutan yang menyandang simbol agama justru masuk ke pusaran (korupsi). Ini membuat masyarakat bingung.
Jakarta (ANTARA News) - Sosiolog dari Universitas Indonesia, Imam B. Prasodjo mengatakan, upaya pemberantasan korupsi makin berat ketika banyak figur publik yang justru ikut terjerat korupsi.

"Panutan yang menyandang simbol agama justru masuk ke pusaran (korupsi). Ini membuat masyarakat bingung," kata Imam saat acara diskusi dengan tema "Menguak Tabir Korupsi Menjelang Pemilu 2014 dan Antisipasi Korupsi Pascapemilu" yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Lemhannas (IKAL) 49 bersama Yayasan Empat Sembilan (YES) di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, sistem di kementerian/lembaga tidak akan bisa diperbaiki jika tidak melibatkan pihak luar.

"Untuk memecah sistem memang harus ada injeksi dari luar. Langkah ini pasti menimbulkan gejolak, tetapi harus dilakukan. Jika tidak, sistem yang bobrok akan terus bertahan" ujarnya.

Selain itu, Imam mengatakan bahwa pemerintah harus mau mengurai perjalanan pengajuan anggaran dari mulai perencanaan hingga pencairan karena terdapat bibit-bibit korupsi berkembang biak.

"Korupsi sistemik jauh lebih berbahaya dari by greed (karena keserakahan) dan by need (karena kebutuhan)," katanya.

Sementara itu peneliti dari Bappenas, Diani Sadia Widia mengakui, bahwa pemerintah belum sepenuhnya bisa membenahi sistem antikorupsi di kementerian/lembaga, terutama di lembaga penegak hukum.

"Menggenjot indeks penegakan hukum memang gampang-gampang susah," ujarnya.

Menurut dia, langkah-langkah yang dilakukan penegak hukum mulai dari penerimaan pengaduan, penyelidikan, hingga penyidikan masih jauh dari transparan.

Di kelembagaan tingkat daerah, lanjut dia, justru pintu korupsi banyak bersumber dari pelayanan terpadu satu pintu karena kepala daerah biasanya langsung bermain di wilayah itu.

Tidak hanya itu, pendidikan dan budaya antikorupsi juga masih sebatas pilot project, misalnya, mengimbau melalui media-media pasif, seperti pin dan stiker. Target di sektor pendidikan dan budaya ini adalah membuka mindset soal antikorupsi.

Di tempat yang sama, juru bicara Ikatan Alumni Lemhannas (IKAL) 49, M. Badruddin mengatakan bahwa lamanya Indonesia terbebas dari korupsi karena sistem keuangan di kementerian atau lembaga masih amat mudah untuk direkayasa.

"Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) menargetkan indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia adalah 8 (bebas korupsi) pada tahun 2025. Akan tetapi, kami pesimistis dengan keadaan kementerian dan lembaga saat ini," kata Badruddin.

Badruddin mengungkapkan ada wilayah abu-abu yang mengarah korupsi di setiap kementerian/lembaga yang hingga saat ini sulit diungkap, atau bisa disebut jembatan laten.

"Jembatan laten korupsi biasanya bersemayam pada kebutuhan tidak terprogram dan kebutuhan sosial, seperti ulang tahun lembaga, pemberian apresiasi terhadap pegawai, penjamuan untuk auditor, anggota DPR, atau dalam bentuk lain. Wilayah ini biasanya dijadikan kedok untuk penyalahgunaan keuangan negara," katanya.

(S037)

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2014