KPK bisa menilai bahwa pemerintah dan DPR, kalau misalnya tetap ngotot membahas RUU KUHP dan KUHAP, maka itu bisa kami artikan pemerintah dan DPR tidak punya 'political will' dalam pemberantasan korupsi.
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai bahwa pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat tidak mempunyai niat baik (political will) bila melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

"Di sini kami (KPK,red) bisa menilai bahwa pemerintah dan DPR, kalau misalnya tetap ngotot membahas RUU KUHP dan KUHAP, maka itu bisa kami artikan pemerintah dan DPR tidak punya 'political will' dalam pemberantasan korupsi," kata Ketua KPK Abraham Samad, di gedung KPK Jakarta, Rabu.

KPK telah mengirimkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan DPR untuk menunda pembahasan kedua RUU itu.

Abraham mengatakan meski kedua RUU itu sudah lama diembuskan, tetapi KPK baru mengetahui pada April 2013 bahwa delik korupsi masuk ke RUU KUHP tersebut.

"Ini menunjukkan ada potensi bahaya bila tetap dilanjutkan," jelas Abraham.

Meski mengaku bahwa KPK menangkap ada sinyalemen politik dalam pembahasan RUU tersebut, KPK tetap konsisten dalam menjalankan tugas pokok sebagai pemberantasan korupsi dengan proses penyelidikan, penyidikan sampai pengadilan.

"Kami tidak terpecah karena sudah ada bagian-bagian yang didistribusikan untuk menangani, tidak usah khwatir upaya membongkar korupsi tidak berjalan," tambah Abraham.

Abraham menjamin KPK tetap berjalan di jalurnya meski ada pihak yang berupaya memotong kaki KPK.

Ia pun mengaku bahwa KPK secara resmi tidak pernah diajak mendiskusikan RUU KUHP dan KUHAP.

"Secara resmi kami tidak pernah diajak secara resmi, kalau lewat media ada yang mengatakan sudah mengajak KPK, saya pikir itu lip service agar ditangkap ada keinginan melibatkan KPK, tapi resminya KPK tidak diajak," tambah Abraham.

Sejumlah butir keberatan KPK menurut Abraham adalah pertama di dalam RUU KUHP sifat kejahatan luar biasa dari korupsi menjadi tereliminasi dengan dimasukkannya dalam buku dua RUU KUHP bersama dengan kejahatan luar biasa lain seperti terorisme, narkotika, dan pelanggaran HAM.

"Kalau sifat kejahatan luar biasa hilang maka konsekuensinya lembaga-lembaga yang punya kompetensi seperti KPK, PPATK dan BNN tidak relevan lagi atau bisa dikatakan lembaga bubar bila kejahatan luar biasa itu dipaksakan masuk ke buku II," jelas Abraham.

Kedua ada beberapa substansi yang menghambat pemberantasan korupsi, misalnya kewenangan penyelidikan menjadi hilang.

"Padahal kami tahu dengan adanya fungsi kewenangan penyelidikan yang dimiliki KPK sangat berguna karena law full interception yaitu penyadapan dilakukan saat penyelidikan, jadi kalau penyelidikan dihilangkan akan sulit melakukan langkah pemberantasan korupsi," ungkap Abraham.

Ketiga adalah KPK melihat ada beberapa delik atau aturan misalnya aturan tentang penyuapan atau gratifikasi yang tadinya diatur dalam UU sebagai delik korupsi, tapi dalam RUU KUHP masuk ke delik yang berhubungan dengan jabatan.

"Jadi kalau pertanyaannya kalau penyelenggara menerima suap maka tidak bisa disidik KPK bila kejahatan suap dimasukkan ke delik tindak pidana jabatan, dan tidak masuk ke delik korupsi," jelas Abraham.

Keempat adalah kewenangan melakukan penyitaan terhambat karena harus meminta izin hakim pendahuluan.

Kelima yaitu penahanan yang diberikan dalam tahapan penyidikan sangat singkat yaitu 5 hari.

"Anda bisa bayangkan kalau dalam proses tahapan penyidikan KPK diberikan waktu penahanan hanya 5 hari, padahal sebagai kejahatan white collar crime dan extra ordinary crime akan sulit untuk merampungkan pemberkasan untuk dilimpahan ke penuntutan, jadi kalau dipaksakan akan hambat pemberantasan korupsi yang sedang dilakukan," tambah Abraham.

RUU KUHAP dan KUHP diserahkan Kementerian Hukum dan HAM kepada Komisi Hukum DPR pada 6 Maret 2013, kedua rancangan regulasi tersebut masuk ke dalam prioritas Program Legislasi Nasional periode 2009-2014.

Setelah menerima kedua naskah itu, DPR membentuk Panja Pembahasan RUU KUHAP dan RUU KUHP yang dipimpin Aziz Syamsudin dengan 26 orang anggota dari berbagai fraksi. Panja telah memanggil sejumlah pihak terkait, kecuali KPK untuk membahas RUU KUHAP.

RUU KUHP memuat 766 pasal atau bertambah 197 pasal dari KUHP lama yang hanya memuat 569 pasal.

(D017)

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2014