Pola pengamanan berbeda untuk tiap TPS, berdasar skala kerawanan,"
Jakarta (ANTARA News) - Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menerapkan pola pengamanan bertingkat dalam mengawasi tempat pemungutan suara (TPS), disesuaikan dengan tingkat kerawanan.

"Pola pengamanan berbeda untuk tiap TPS, berdasar skala kerawanan," kata Asisten Operasi Markas Besar Polri Inspektur Jenderal Polisi Arif Wachyunadi, setelah menghadiri penyampaian seruan Pemilu Damai di Provinsi Aceh di Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Jakarta, Kamis.

Menurut Arif, kebijakan itu diambil mengingat jumlah TPS yang harus diamanankan jauh lebih banyak dibandingkan jumlah personel Polri.

"Jumlah TPS lebih dari 545.000, tidak sebanding dengan jumlah personel polisi yang hanya 410.000," katanya.

Arif menyebutkan sedikitnya ada empat tingkatan kerawananan TPS dengan perlakuan yang berbeda, yakni sangat aman, aman, rawan, dan sangat rawan.

Untuk TPS yang dianggap sangat aman, Polri akan menempatkan dua personel untuk mengawasi 10 TPS. Sedangkan untuk TPS yang dianggap aman, dua personel mengawasi lima TPS.

"Tentunya dengan sistem patroli keliling," katanya.

Untuk TPS yang tergolong rawan, dua personel polisi akan ditugaskan mengawasi dua TPS. Sedangkan untuk TPS yang dikategorikan sangat rawan, satu TPS diawasi dua personel.

Arif menyebutkan dari total keseluruhan TPS sedikitnya 20 persen dikategorikan masuk kategori rawan.

"Yang 20 persen rawan itu tentunya dengan pertimbangan, misalnya sebelum pelaksanaan Pemilu banyak kejadian kasus kekerasan atau tingkat konfliknya tinggi di daerah tersebut," katanya.

Ia juga mengatakan meskipun 20 persen TPS tingkat rawan tersebut tersebar di wilayah 31 Kepolisian Daerah (Polda) di seluruh Indonesia, namun sebagian besar berada di lima provinsi yang memang telah dipetakan sebagai fokus utama prioritas pengamanan.

Lima provinsi yang menjadi prioritas utama dalam upaya pengamanan Pemilu Legislatif 2014 tersebut adalah Aceh, Lampung, Sulawesi Tengah, Maluku, dan Papua.

Di sisi lain, Arif memperkirakan akan ada perbedaan tingkat kemunculan kasus kekerasan antara yang terkait dengan Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres).

Hal itu dikarenakan terutama jauhnya hubungan emosional antara pemilih dengan calon presiden berbanding hubungan emosional antara pemilih dengan calon anggota legislatif (caleg).

"Kalau saya melihat Pileg sudah terlihat dinamikanya, sebab secara emosional mungkin lebih berhubungan langsung antara caleg dengan masyarakat. Sedangkan di Pilpres hubungan emosionalnya agak lebih jauh," ujarnya.

Meski demikian, Arif menegaskan, Polri secara konsisten akan mengerahkan seluruh Polda untuk mengamankan Pemilu 2014.

"Sebab pengamanan pemilu menjadi salah satu program prioritas tahun ini, dengan mengerahkan 31 Polda di seluruh Indonesia ditambah satu satuan tugas di tingkat nasional," katanya.

Sementara itu, KontraS menyampaikan seruan agar Pemilu Legislatif 2014 dapat berlangsung damai dan tanpa kekerasan, khususnya di Provinsi Aceh.

"Atas nama solidaritas kemanusiaan kami sangat prihatin dengan maraknya berbagai bentuk kekerasan, baik intimidasi, teror, penculikan, penembakan, bahkan pembunuhan menjelang pelaksanaan Pemilu Legislatif 2014 di Provinsi Aceh," kata relawan KontraS Ferry Afrizal saat membacakan pernyataan organisasi itu.

Di dalam seruan tersebut KontraS secara umum mengajak semua pihak untuk mendorong penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dalam proses Pemilu 2014.

Seruan tersebut disampaikan usai diskusi tentang persoalan kekerasan di masa pemilu di Aceh yang menghadirkan Asisten Operasi Markas Besar Polri Inspektur Jenderal Polisi Arif Wachyunadi, Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai, dan pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar.

(G006/S024)

Pewarta: Gilang G
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2014