Palu (ANTARA News) - Menjelang pelaksanaan eksekusi tiga terpidana mati kasus kerusuhan Poso, yakni Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marianus Riwu, situasi kota Tentena di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng), dilaporkan cukup aman.
"Hingga kini tidak ada gejolak yang mengganggu kamtibmas sehubungan akan dieksekusi Tibo dkk pada Jumat (22/9)," kata Yahya (58), tokoh masyarakat Tentena saat dihubungi ANTARA per telepon, Rabu pagi.
Menurut dia, arus lalulintas angkutan darat di Trans Sulawesi melalui Tentena masih berjalan lancar, selain aktivitas pemerintahan, kegiatan belajar-mengajar, dan roda perekonomian masih berjalan lancar.
Selain itu, para petani tetap beraktivitas seperti biasa.
Ia mengakui sebagian besar masyarakat yang berdomisili di Tentena -- kota kecil di tepian Danau Poso dan menjadi pusat kegiatan Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) -- belum mengetahui jadwal pelaksanaan eksekusi Tibo dkk.
"Saya sendiri baru mendengar rencana eksekusi itu melalui berita di televisi," tuturnya.
Kota Tentena yang juga merupakan daerah tujuan wisata (DTW) di Provinsi Sulteng sebelumnya banyak dikunjungi para wisatawan mancanegara, namun kurun enam tahun terakhir menjadi sangat sepi.
Saat pecah kerusuhan besar di Kabupaten Poso beberapa waktu lalu (2000-2001), daerah ini juga menjadi tempat pengungsian umat Kristiani di kota Poso dan desa-desa di pinggirannya.
Dua hari berturut-turut menjelang pelaksanaan eksekusi Tibo dkk tanggal 12 Agustus 2006 (namun batal dilaksanakan), ribuan warga setempat serta daerah pnggirannya turun ke jalan menggelar aksi protes menolak pelaksanaan hukuman mati.
Aksi unjuk rasa itu disertai pula dengan kegiatan memanjatkan doa bersama yang dipandu sejumlah pendeta dan tokoh masyarakat setempat.
Menurut Pendeta Rinaldy Damanik MSi, Ketua Sinode GKST, pihaknya menolak keras pelaksanaan eksekusi terhadap Tibo dkk, karena ketiganya hanya dijadikan korban dan tumbal dari pihak-pihak yang tak bertangungjawab dalam kerusuhan Poso.
Tibo, Dominggus, dan Marinus, dijatuhi hukuman mati oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Palu pada 4 April 2001. Mereka dinyatakan terbukti bersalah dalam kasus pembunuhan berencana serta penganiayaan yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa.
Ketiganya juga dinyatakan terlibat dalam pembakaran rumah-rumah penduduk saat berkecamuk konflik horizontal pertengahan tahun 2000.
Putusan PN tersebut kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Sulteng dan Mahkamah Agung/MA, bahkan kemudian majelis hakim MA menolak permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan ketiga terpidana.
Atas saran dan pertimbangan MA, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri pada 12 April 2005 mengeluarkan keputusan menolak permohonan pengampunan (grasi) yang diajukan ketiga terpidana yang sebelumnya disampaikan melalui kuasa hukumnya. (*)
Copyright © ANTARA 2006