Jakarta (ANTARA News) - Seperti judulnya, film dokumenter "Jalanan" besutan Daniel Ziv membeberkan keseharian tiga pengamen ibukota bernama Boni, Ho, dan Titi. Namun film ini tidak dibuat untuk menuai belas kasihan penonton, justru kekaguman melihat kaum marjinal memperjuangkan hidup di tengah beratnya kehidupan ibukota.

Boni yang sejak kecil tinggal di jalan menikmati kolong jembatan sebagai persinggahan bersama keluarganya. Banjir langganan di Jakarta kerap membuatnya kalang kabut saat debit air bertambah. Toh dia tetap bisa mengakali dan mengubahnya seakan kolong jembatan adalah hotel pribadinya.

Ho yang berambut gimbal ingin menikmati hidup dengan cinta. Beberapa perempuan singgah di kehidupannya sampai ia bertemu dengan orang yang resmi menjadi istrinya.

Titi adalah perempuan pengamen yang mengumpulkan lembar uang untuk masa depan anaknya juga keluarga di kampung. Perempuan yang sering memilih lagu religi sebagai tembang andalan mencari rezeki di dalam angkutan umum itu juga tetap bersemangat melanjutkan pendidikan dan mendapatkan ijazah kelulusan paket C.

Ketiga orang itu juga berbagi musik yang menjadi soundtrack dokumenter ini melalui adegan-adegan mengamen atau mendendangkan syair ciptaan sendiri, dari lagu nyeni hingga sentilan politik. Selain Ho, Titi, dan Boni, sejumlah musisi juga berkolaborasi untuk mengisi musik "Jalanan", seperti Franky Sahilatua, Luky Annash, Cozy Streer Corner, Thanding Sari dan Tika.

Ziv mengatakan usai pemutaran di Jakarta semalam bahwa fenomena mengamen di Jakarta menarik dan perlu diceritakan sebagai potret Indonesia.

"Dibuat tulisan saja tidak cukup karena ini cerita bermusik," ungkap pendiri dan penyunting majalah bulanan Djakarta!- The City Life Magazine mengenai alasan membuatnya menjadi film dokumenter.

Selama dua bulan Ziv mengadakan audisi rahasia dengan turun-naik angkutan umum dan mencari pengamen-pengamen berkarakter kuat demi menghasilkan film dokumenter yang menghibur dan tidak membosankan sampai dia bertemu dengan ketiga orang itu.

"Saya merasakan mereka punya karakter kuat yang bisa loncat dari layar lebar dan berinteraksi dengan penonton," kata pemegang gelar Master di bidang studi Asia Tenggara dari University of London.

Dia mengatakan semua yang ada dalam film merupakan kenyataan tanpa ada rekayasa skenario sehingga butuh lima tahun untuk merekam keseharian Boni, Ho, dan Titi.

"Sejak awal kami sepakat semua riil. Ga ada skenario. Terserah mereka mau ngapain aku ngikutin aja," papar Ziv yang mengaku sulit menyulap 250 jam rekaman menjadi film berdurasi 107 menit saja.

Apa yang dilakukan para pengamen itu, apakah itu mengikuti ujian, ditangkap satpol PP dan dibui di Panti Sosial, menghias kolong jembatan atau melamar kekasih di warung Padang, diabadikannya lewat kamera.

Ziv berharap "Jalanan" dapat mengubah stigma film dokumenter di Indonesia yang dianggap membosankan dan menggurui karena film ini menawarkan plot menarik yang seru "seperti sinetron tapi nyata".

Dia berkomentar bahwa "Jalanan" adalah antitesis dari tayangan di televisi Indonesia yang biasa memotret kehidupan orang kaya yang ditonton oleh masyarakat kelas bawah.

"Sementara Jalanan mengisahkan kehidupan orang pinggiran yang ditonton kelas menengah keatas di bioskop dan ini eksperimen menarik," ujarnya.

Film yang memenangkan "Best documentary" dalam Busan International Film Festival 2013 itu digarap juga oleh Ernest Hariyanto (editor), Meita Eriska (sound recordist), Levy Santoso (sound design and mixing) dan gitaris band Navicula Dadang SH Pranoto (music scorer).

"Jalanan" mulai tayang di tiga bioskop Jakarta, yaitu Plasa Senayan, Blok M Square dan Grand Indonesia pada 10 April mendatang. Rencananya film ini juga akan dibawa ke beberapa daerah seperti Yogyakarta, Makassar, dan Bali. (*)

Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014