Surabaya (ANTARA News) - Dewan Lingkungan Hidup (DLH) Jatim memperbolehkan pembuangan lumpur panas Lapindo ke mana saja, asalkan aman dan tidak membahayakan. Selama ini proses pembuangan lumpur, baik ke Kali Porong, tempat penambangan sirtu di Ngoro Mojokerto, maupun ke Selat Madura masih mendapat pertentangan dari penduduk sekitar. Ketua DLH Jatim, Drs A Latief Burhan usai membuka "Seminar Nasional Lingkungan Hidup, Dampak Kegiatan Industri dan Penegakan Hukum Lingkungan" yang diselenggarakan FMIPA Unair, di Surabaya, Kamis (21/9) menyatakan, masyarakat hendaknya tidak khawatir dengan dampak yang ditimbulkan oleh lumpur Lapindo, karena terbukti tidak mengandung B3 (bahan berbahaya beracun). Bahkan berdasar penelitian, lumpur itu mengandung zeolid sebesar 60 persen. Jika lumpur itu diolah lagi hingga menghasilkan zeolid 80 persen, bisa menjadi bahan baku industri yang bisa diekspor. "Lumpur juga bisa dijadikan bahan baku pembuatan batu bata. Berarti lumpur itu bisa juga dimanfaatkan," tuturnya. Terkait dengan masyarakat yang menolak pembuangan lumpur ke daerahnya, Latief mengingatkan, agar masyarakat tidak perlu berbuat demikian. Kalau tidak boleh dibuang ke mana-mana lalu lumpur itu mau diapakan. Dia minta masyarakat berbesar hati menerima keputusan Pemprop untuk membuang lumpur ke Ngoro, Kali Porong, ataupun Selat Madura. Bila hal itu tidak dilakukan, dikhawatirkan luapan lumpur akan menggenangi wilayah Sidoarjo lebih luas lagi. "Jangan setuju atau menolak, yang penting ada solusinya," tegasnya. Dekan FMIPA Unair Surabaya ini, juga menilai pemerintah lamban dalam menanggulangi luapan lumpur. Ini terlihat dari lamanya pembentukan tim penanggulangan lumpur. "Buktinya Pemprop baru membentuk tim 21 hari pascaluapan lumpur. Sementara pemerintah pusat baru membentuk tim nasional lebih dari 100 hari pascaluapan lumpur," ungkapnya. Menurut dia, dalam jangka pendek ini, Pemkab Sidoarjo harus segera merealisasikan "resetlemen" (relokasi) korban lumpur panas. Hal paling utama yang harus segera ditangani adalah aspek sosial ekonomi. "Kalau bupati Sidoarjo saja belum menentukan wilayah `resetlemen`, lalu korban mau dipindah ke mana?. Apa mereka mau bedol desa atau pindah sendiri-sendiri," tuturnya. Apalagi bentang alam Sidoarjo akibat luapan lumpur secara otomatis berubah. Jadi RTRW (rencana tata ruang wilayah) Sidoarjo pun harus direvisi juga. "Petakan lagi mana yang untuk persawahan, mana yang untuk permukiman," paparnya.(*)

Copyright © ANTARA 2006