Jakarta (ANTARA News) - Pembunuhan massal setelah Gerakan 30 September 1965 tidak terelakkan karena keadaan sangat kacau sehingga komando, baik Soekarno maupun Soeharto, tidak efektif. "Saat itu, Soekarno masih presiden. Dia minta HMI menenangkan suasana, tapi dia pun tidak bisa berbuat ata-apa. Dualisme kepemimpinan nasional dengan Soeharto bahkan membuat keadaan bertambah buruk," kata Dr Sulastomo di Jakarta, Jumat. Ia mengemukakan hal tersebut saat menjadi pembicara pada seminar Re-Examining 30 September 1965 as an Historical Event, yang diselenggarakan Pusat Kajian Strategis dan Internasional (CSIS) dan penerbit Grasindo. Sulastomo, yang ketika itu menjabat Ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), menyebut dirinya bagian dari sejarah peristiwa tersebut. Pada 1 Oktober 1965, Sulastomo menerima telepon dari Wakil Ketua HMI Syarifudin Harahap tentang terjadinya kudeta. Sejak pagi hingga petang, Sulastomo, yang berada di Menteng, kawasan tempat Jenderal Nasution tinggal, menghabiskan waktu untuk mencari keterangan rinci kejadian tersebut. "Hari itu adalah hari yang sangat gelap. Kita tidak tahu apa yang terjadi. Semua tidak jelas dan orang tidak tahu apa yang harus dilakukan," kata Sulastomo, yang pada awal tahun ini meluncurkan buku "Di Balik Tragedi 1965". Dalam buku tersebut, Sulastomo menilai pembunuhan massal setelah Gerakan 30 September tidak terelakkan, karena pilihannya adalah "dibunuh atau membunuh". "PKI memulai dengan membunuh para jenderal, lalu rumor pembunuhan orang yang anti-PKI menyebar luas ke seluruh penjuru, padahal orang masih punya kenangan buruk pada Peristiwa Madiun 1948, saat komunis membunuh ribuan orang, kebanyakan dari kelompok muslim," kata Sulastomo, yang memperkirakan 600 ribu anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) dibunuh setelah peristiwa Gerakan 30 September. Sulastomo juga mengemukakan, sulit bagi masyarakat menempatkan Soekarno dan Soeharto secara obyektif dalam peristiwa tersebut. "Sulit, karena orang punya pandangan berdasarkan ideologi politik dan kepentingan masing-masing. Sangat susah mendapatkan gambaran jernih dari peristiwa itu," kata Sulastomo. Ia menyesalkan banyak orang melihat peristiwa itu secara "hitam putih". "Bagi saya, sulit menulis buku tentang peristiwa itu, karena kalau saya tidak `hitam` atau tidak `putih`, justru orang menganggap saya tidak obyektif," katanya. Dalam acara tersebut, Ahli Peneliti Utama LIPI Asvi Warman Adam, yang bertindak sebagai penanggap mengecam buku tulisan Antonie CA Dake "Sukarno File -- Berkas-Berkas Soekarno 1965-1967, Kronologi Suatu Keruntuhan". "Banyak pernyataan tidak akurat. Dia sembarangan melontarkan tuduhan," kata Asvi. Menurut Asvi, tuduhan sembarangan itu, misalnya, menyebut Bung Karno memiliki sifat "megalomania" dan pada saat genting, Bung Karno malahan "tidur-tiduran" di Halim. Dake, yang memberitahu panitia batal hadir dengan alasan keluarga, beberapa waktu lalu diadukan Yayasan Bung Karno ke Polri dan Kejaksaan Agung dengan tuduhan melakukan penghinaan dalam bukunya tersebut. Dake, kelahiran 1928, menurut Asvi, melakukan penghinaan, karena menyebut "Bung Karno biang sebenarnya" dari peristiwa 1965 dan "secara langsung harus memikul tanggungjawab atas pembunuhan enam jenderal dan secara tidak langsung untuk pembantaian antara komunis dan bukan komunis, yang berlangsung kemudian". Sejarahwan Belanda itu menyimpulkan hal tersebut setelah mendapat dokumen hasil pemeriksaan Teperpu (Team Pemeriksa Pusat) terhadap Bambang Wijanarko, ajudan Bung Karno. Dokumen tersebut didapat Dake lewat kiriman pos misterius saat ia berada di Jakarta, lalu dimuatnya pertama kali pada 1974 dalam buku, yang diterbitkan di Belanda dengan judul "The Devious Dalang: Sukarno and the So-Called Untung-Putch, Eye-Witness Report by Bambang S Widjanarko". Buku tersebut dilarang beredar di Indonesia oleh Jaksa Agung pada 1990, namun pada 2005, terbit buku "Sukarno File", yang diterbitkan penerbit dalam negeri dan bagian apendiksnya memuat lengkap kesaksian Bambang Wijanarko. "Wijanarko pernah mengaku dipaksa membuat pengakuan itu. Selain itu, hasil pemeriksaan Teperpu adalah berita acara, yang harus dirahasiakan sampai disidangkan di pengadilan. Itu berarti, Antonie Dake dan penerbit melanggar etika dengan membocorkan rahasia negara Indonesia ke pihak internasional," kata Asvi. Lebih lanjut, Asvi juga mempertanyakan mengapa Dake tidak pernah mewawancarai Bambang Wijanarko, yang meninggal pada 1996. Secara keseluruhan, Asvi menilai kesimpulan Dake kurang kuat dari segi logika, selain sangat lemah dalam hal sumber. Buku lain, yang dikritik Asvi, adalah karya Lambert J Giebels, "Pembantaian yang Ditutup-Tutupi: Peristiwa Fatal di Sekitar Kejatuhan Bung Karno". Asvi menilai buku karya doktor sejarah warga negara Belanda itu tidak akurat. Hal itu, misalnya, ketiga Giebels menyebut Masyumi beralinan Islam liberal, Angkatan Kelima disebut Hansip, Kepala Staf Angkatan Darat Wakil Marsekal Udara Omar Dani dan penculikan tujuh jenderal, padahal hanya enam jenderal. "Ada lagi yang baru dikemukakan Giebels, bila itu benar. Pemukulan terhadap Jenderal Nasution pada 1 Oktober 1965 di Kostrad," kata Asvi. Menurut Asvi, sulit ditulusuri kebenaran Giebels, yang menyebut Nasution baku hantam dengan sesama jenderal di markas Kostrad.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006