Surabaya (ANTARA News) - Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM) Hamid Awaludin mengaku siap dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terkait kasus dugaan korupsi pengadaan segel sampul surat suara dalam Pemilu 2004. Hamid juga menegaskan bahwa dirinya tidak pernah akan menolak panggilan KPK dan selalu siap untuk menjalani proses hukum untuk membuktikan apakah dirinya bersalah atau tidak. "Kapan saya menolak diperiksa? Demi tegaknya hukum saya tidak pernah menolak untuk menjalani proses hukum dan siap dipanggil KPK apabila KPK memanggil saya," katanya kepada wartawan usai Sosialisasi Undang-Undang Kewarganegaraan, di Surabaya, Sabtu petang. Sebelumnya, Indonesian Corruption Watch (ICW) meminta agar Hamid Awaludin dipanggil dan diperiksa oleh KPK dalam dugaan korupsi segel sampul surat suara. ICW juga mendesak agar KPK melakukan upaya paksa, apabila Hamid dinilai tidak kooperatif dalam pemeriksaan yang dilakukan komisi yang dibentuk untuk memberantas korupsi tersebut. Menyinggung soal UU Kewarganegaraa menurut Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin, pelaksanaan Undang-Undang (UU) Kewarganegaraan No 12/2006 paling tidak memerlukan waktu empat bulan lagi untuk direalisasikan, hal ini dikarenakan UU tersebut masih membutuhkan Peraturan Pemerintah (PP) dan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak). Menurut dia saat Sosialisasi UU Kewarganegaraan, Undang-Undang ini masih merupakan sesuatu yang mendasar dan untuk benar-benar dilaksanakan di masyarakat harus dengan membuat Peraturan Pemerintah. Hamid menyatakan, UU Kewarganegaraan merupakan terobosan yang revolusioner, sebab di dalam UU ini kesempatan seseorang menjadi WNI sangatlah besar dan apabila dibandingkan dengan UU serupa yang ada di negara tetangga, UU ini lebih lengkap. "Ada beberapa poin yang merupakan terobosan baru, misalnya paham Ius Soli atau paham yang mengakui warganegara berdasarkan tempat kelahiran," katanya. Sementara itu, Slamet Efendi Yusuf, Ketua Pansus UU Kewarganegaraan menambahkan, selain penuh terobosan, UU ini juga memberikan pengayom kepada para pengusaha, yang nantinya bisa diharapkan makin menumbuhkan iklim usaha yang kondusif, sebab tidak ada lagi diskriminasi.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006