Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia menyesalkan keterlibatan empat Warga Negara Indonesia (WNI) dalam kasus pembelian senjata ilegal di Amerika Serikat (AS). "Kalau memang benar mereka betul terlibat dalam pembelian senjata tentu saja kami menyesalkan, karena setelah kejadian bulan Mei lalu masih ada WNI yang membeli senjata tidak resmi," kata Jurubicara Departemen Luar Negeri (Deplu-RI), Desra Percaya, kepada ANTARA, di Jakarta, Senin. Menurut Jubir Deplu-RI, di tengah upaya gencar yang dilakukan oleh dunia internasional saat ini, maka setiap upaya pembelian senjata secara ilegal pasti akan dengan mudah diketahui. Pihak berwenang AS, Jumat, mengumumkan bahwa mereka telah menangkap enam orang Asia, empat di antaranya asal Indonesia, yang berkomplot mengirim senjata seperti senapan mesin dan senapan penembak jitu ke pemberontak Macan Tamil di Sri Lanka serta pembeli yang namanya tak jelas di Indonesia. Enam orang yang ditangkap di Guam itu diduga menjadi perantara antara pabrik senjata dengan Macan Tamil, sebuah kelompok pemberontak di Sri Lanka yang oleh pemerintah AS dinyatakan sebagai kelompok teroris. Sementara itu pada Mei lalu, dua WNI juga ditahan oleh pihak berwenang AS dengan tuduhan serupa dan kini tengah menjalani proses hukum di AS. "Pemerintah Indonesia telah menerima pemberitahuan resmi mengenai status empat WNI itu," katanya. Saat ini, lanjut dia, Pemerintah tengah mengutus pejabat dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Los Angeles untuk menuju ke Guam dan meminta akses konsuler ke empat WNI itu. "Besok pejabat dari KJRI LA akan berangkat ke sana," katanya. Sementara itu, dihubungi di tempat terpisah, Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Deplu-RI, Ferry Adamhar, mengatakan bahwa pejabat dari KJRI Los Angeles akan menuju Guam untuk meminta akses konsuler dan kejelasan mengenai kasus tersebut. "Ini masih dalam tahap awal tetapi tentu saja Pemerintah akan mengusahakan agar hak-hak mereka sebagai WNI terpenuhi," katanya. Menurut Ferry, Guam merupakan 'remote-area' dekat dengan wilayah Pasifik sehingga membutuhkan waktu untuk mencapai lokasi itu. Jika terbukti bersalah karena berkomplot mengekspor senjata dan amunisi serta peralatan pendukung untuk teroris, empat WNI tersebut dapat dihukum hingga 20 tahun serta denda 500 ribu dolar AS (sekitar Rp.4,5 miliar). Keempat WNI itu adalah Erick Wotulo (60), H. Subandi (69), Reinhard Rusli (34) dan Helmi Soedirdja. (*)

Copyright © ANTARA 2006