Jakarta (ANTARA News) - Perusahaan-perusahaan besar dari negara maju sering melakukan penyuapan dalam menjalankan bisnisnya di luar negeri dan hal itu turut menghambat pembangunan dan mendorong lingkaran kemiskinan di negara-negara berkembang. Demikian hasil survei yang dilakukan Indeks Pembayar Suap (IPS/Bribe Payer Index) Transparency International (TI) yang diterima di Jakarta, Rabu. Hasil survei itu merupakan jawaban 11 ribu lebih pelaku bisnis dari 126 negara yang disurvei dalam Survei Opini Eksekutif The World Forum 2006. Namun hasil survei menyebutkan tidak ada pemenang yang sesunguhnya. Hasil survei IPS TI 2006 menyebutkan, kegiatan suap di luar negeri yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar dari negara pengekspor masih umum terjadi padahal telah ada hukum internasional antisuap yang menetapkan praktik tersebut sebagai tindak pidana. IPS TI ini meneliti kecenderungan perusahaan negara-negara pengekspor terkemuka melakukan suap di luar negeri. Dalam peringkat IPS, perusahaan negara kaya umumnya berada pada peringkat satu sampai 15. Perusahaan-perusahaan besar itu masih tetap melakukan suap terutama jika beroperasi di negara berkembang. Perusahaan yang berasal dari negara kekuatan ekonomi baru, seperti Brasil, Rusia, India dan China (BRICs) menempati peringkat terakhir. Pada kasus China dan negara-negara yang tergabung dalam kelompok BRICs lainnya, upaya penerapan prinsip bisnis antikoruosi di negaranya ternyata tidak diterapkan oleh perusahaan-perusahaan mereka ketika beroperasi di luar negeri. "Perusahaan-perusahaan yang melakukan suap sesungguhnya menghambat upaya perbaikan tata laksana pemerintahan di negara berkembang sehingga mereka turut mendorong lingkaran kemiskinan," kata Ketua Transparency International Huguette Labelle. Responden di negara-negara berpendapatan rendah seperti di Afrika memandang perusahaan-perusahaan Perancis dan Italia sering melakukan suap di negara-negara mereka. "Adalah munafik jika penegakan hukum oleh pemerintah negara-negara anggota OECD hanya merupakan pemulas bibir (lip-service) saja, sementara perusahaan-perusahaan mereka terus melakukan suap ketika beroperasi di luar negeri. Indeks Pembayar Suap TI menunjukan bahwa negara-negara tersebut kurang menunjukkan keseriusan dalam mengawasi dan memantai tindakan suap yang dilakukan perusahaannya di luar negeri," kata Chief Executive TI David Nussbaum. Dia menyatakan, catatan penegakan hukum internasional antisuap masih mengecewakan. "Pemerintah dan perusahaan telah memiliki aturan dan alat untuk diterapkan," katanya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006