Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Agung (MA) dalam putusan kasasi kasus pembunuhan berencana terhadap aktivis HAM Munir, menghukum terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto dua tahun penjara. Ketua majelis hakim kasasi, Iskandar Kamil, di Gedung MA, Jakarta, Rabu, mengatakan MA menyatakan dakwaan pertama tentang pembunuhan berencana tidak terbukti karena tidak ditemukan bukti berupa saksi yang melihat, mendengar, atau mengalami sendiri bahwa Pollycarpus melakukan pembunuhan terhadap Munir. MA hanya menjatuhkan hukuman dua tahun penjara karena terbuktinya dakwaan kedua tentang penggunaan surat palsu. Untuk dakwaan menggunakan pidana palsu, Iskandar mengatakan bukti-buktinya cukup jelas karena surat yang digunakan oleh Pollycarpus untuk terbang ke Singapura dikeluarkan oleh pejabat PT Garuda Indonesia yang tidak memiliki kewenangan. "Pidananya dua tahun penjara. Dakwaan pertama tentang perencanaan pembunuhan tidak terbukti. Memang tidak ada fakta-faktanya, tidak ada saksi. Kita kalau memutus harus ada bukti-bukti," tutur Iskandar. Menurut dia, putusan kasasi tersebut adalah murni teknis yuridis tanpa ada pertimbangan lain. MA, lanjut dia, terikat pada ketentuan UU bahwa saksi haruslah orang yang melihat, mendengar dan mengalami sendiri. Iskandar mengatakan, dalam putusan kasasi, MA tidak mencantumkan rekomendasi agar kepolisian membuka kembali penyelidikan kasus kematian Munir, meski MA telah membebaskan Pollycarpus dari tuduhan pembunuhan berencana terhadap Munir. Putusan kasasi terhadap terdakwa Pollycarpus itu diambil dalam rapat musyawarah majelis hakim yang terdiri atas hakim ketua Iskandar Kamil dan hakim anggota Atja Sondjaya serta Artidjo Alkostar. Hakim Artidjo Alkostar memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan kasasi itu. Dalam rapat musyawarah itu, Artidjo menyatakan dakwaan pertama terbukti dan seharusnya Pollycarpus dijatuhi hukuman seumur hidup, sesuai dengan tuntutan JPU. "Pendapat saya, saya mengabulkan kasasi jaksa penuntut umum dan menolak permohonan kasasi terdakwa dan penasehat hukum," kata Artidjo. Ia mengatakan setuju dengan pertimbangan hukum PN Jakarta Pusat yang menggunakan metode `aposteriori`, yaitu dari suatu akibat, dicari petunjuknya, untuk menemukan sebabnya. "Meski tidak ada saksi yang melihat langsung, tetapi petunjuknya jelas. Saya setuju dengan `legal reasoning` PN Jakarta Pusat yang menentukan adanya hubungan kausal antara kematian Munir sebagai akibat dengan perbuatan terdakwa," tutur Artidjo. Pada 12 Desember 2005, PN Jakarta Pusat menjatuhi hukuman 14 tahun penjara kepada Pollycarpus. Ia dinyatakan terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap Munir dengan cara memasukkan racun arsenik ke dalam mie goreng yang disantap Munir saat penerbangan menuju Singapura. Di tingkat banding, vonis Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperkuat vonis PN Jakarta Pusat dengan menjatuhkan hukuman 14 tahun penjara.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006