Jakarta (ANTARA News) - Depnakertrans menyatakan siap menanggung resiko dari ekses penempatan TKI ke Korea Selatan yang menggunakan sistem "Employment Permit System" (EPS) yang dilakukan dengan mekanisme kerjasama antar pemerintah (goverment to goverment/G to G). Dirjen Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri Depnakertrans I Gusti Made Arka di Jakarta, Kamis, mengatakan, lebih baik berbuat dan beresiko dari pada tidak berbuat dan pengangguran terus bertambah. "Masalahnya, bagaimana memperkecil resiko itu," kata Arka. Pemerintah Korsel sejak 2004 menerapkan sistem EPS dengan mekanisme G to G, sehingga mulai tahun 2007 pihak swasta (perusahaan pengerah TKI swasta, PPTKIS) tidak diijinkan lagi menempatkan TKI. Arka mengakui terdapat sejumlah resiko jika pemerintah menjadi pelaku penempatan TKI. Resiko itu seperti yang ditanggung PPTKIS dimana mereka menanggung akibat negatif dari semua penempatan TKI. Program penempatan TKI sarat dengan masalah, yakni banyak pihak-pihak yang menunggangi program tersebut untuk kepentingan pribadi, seperti calo dan sponsor, dan oknum yang menipu calon TKI dengan berbagai cara, sejak perekrutan hingga TKI kembali ke desa asal mereka. Kondisi itu pula yang menjadikan pengusaha PPTKIS tidak pernah populer dan diduga menjadi penyebab semua masalah yang dihadapi TKI. Citra itu tidak hanya diyakini masyarakat tetapi juga di kalangan pemerintah. Pada program EPS yang dilaksanakan Depnakertrans sejak 2004, ditemukan banyak ekses negatif tersebut, tidak hanya calo dari dalam dan luar negeri (warga Korsel), tetapi juga ada oknum Depnakertrans yang terlibat. "Kita sudah memberi sanksi dari yang paling ringan hingga berat (dipecat) kepada sejumlah oknum yang kita yakini terlibat," kata Arka. Dikatakannya, selayaknya pelaku penempatan TKI adalah swasta tetapi di negara tertentu seperti Jepang, dan kini Korsel, pemerintah penerima menghendaki pemerintah penyedia jasa untuk menempatkan tenaga kerjanya. "EPS dan mekanisme G to G diamanatkan UU Korsel jadi kita tidak bisa berbuat apa-apa." kata Arka. UU Korsel menyatakan mulai 2007 kegiatan penempatan tenaga kerja asing hanya akan dilakukan melalui mekanisme G To G. Dengan sistem itu maka TKI diperlakukan sama dengan pekerja lokal, baik dari sistem penggajian maupun perlindungan kerja. Mereka akan mendapat upah Rp8 juta hingga Rp10 juta per bulan di luar upah lembur. Sementara biaya penempatan ke Korsel hanya Rp9,8 juta. Saat ini terdapat 28.693 pekerja Indonesia yang bekerja di Korsel, yakni melalui perusahaan modal asing sebanyak 141 orang, G to G 5.360 orang, pelaut 2.510 orang dan KFSB 20.682 orang. Melalui mekanisme G to G, kata Arka, maka biaya penempatan bisa menjadi lebih murah dan TKI tidak perlu menyisihkan dana deposito sebagai jaminan selama bekerja di Korsel. Selain Indonesia, Korsel juga mengijinkan pekerja dari Vietnam, Thailand, Filipina, Sri langka, Bangladesh, China, Kamboja, Mongolia, Uzbekistan, dan Pakistan bekerja di negara tersebut dengan mekanisme G to G pula.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006