Tangerang (ANTARA News) - Dua pemilik pabrik ekstasi di Tangerang dan Serang, Provinsi Banten, masing-masing Benny Sudrajat dan Iming Santoso dituntut hukuman mati oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), Irfan Jaya SH, di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang, Banten, Kamis. JPU menuntut hukuman mati terhadap Benny Sudrajat dan Iming Santoso di hadapan Majelis Hakim yang diketuai Zaid Umar Bobsaid SH, karena mereka bersekongkol memiliki sejumlah pabrik di Kotamadya dan Kabupaten Tangerang, serta di Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Dalam amar tuntutannya, JPU menegaskan, kedua pemilik pabrik ekstasi terbesar ketiga di dunia itu telah melanggar pasal berlapis, diantaranya pasal 60 ayat (1) a, pasal 55 dan pasal 71 Nomor 5 tahun 1997 tentang psikotopika, serta pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Selain itu, JPU mengemukakan, kedua terdakwa tidak menunjukan niat yang baik dalam pemeriksaan dan memberikan keterangan yang berbelit-belit, serta perbuatan mereka dapat merusak moral generasi muda. Bahkan, menurut penilaian JPU, kedua terdakwa terbukti melakukan persekongkolan memproduksi narkoba dalam jumlah yang besar di beberapa pabrik. Sejumlah pabrik milik terdakwa adalah PT Sumaco Jaya Abadi di Jalan Industri Blok B, Kampung Congreng, Desa Pasir Bolang, Kecamatan Balaraja, Kabupaten Tangerang, dan di Jalan Industri Raya II Blok BI Nomor 2, Kelurahan Jatake, Kecamatan Jatiuwung, Kota Tangerang, serta di Kompleks Industri Batik Nomor 111 Kampung Teriti RT06/03 Desa Karet, Kecamatan Sepatan, Kabupaten Tangerang. Selain itu, mereka juga memiliki pabrik di Jalan Raya Rangkasbitung kilometer 70, Desa Kibin, Serang, dan Jalan Raya Rangkasbitung kilometer 17 Desa Cemplang, Kecamatan Jawilan, Kabupaten Serang. Sudrajat bekerja sama dengan terdakwa lainnya, seperti Samad Sani (40), Arden Kristian (25), Hendra Raharja (37), yang disidang secara terpisah di PN Tangerang dan dua tenaga kerja asing, Nicholas Garnick dan Serge Areski Atlaqui yang Warga Negara (WN) Belanda. Kedua tenaga kerja asing itu merupakan ahli dalam pembuatan kimia Metilen Dioksi Metil Amfetamina (MDMA) yang merupakan salah satu bahan pembuat ekstasi. Kedatangan kedua WN Belanda itu semuanya dibiayai Benny, termasuk akomodasi mereka selama berada di Indonesia, dan bila berhasil mereka akan mendapatkan imbalan senilai 2.000 Ero setiap kilogram produk ekstasi. Sudrajat mendapat modal awal dari Peter Wong (masih buron) senilai Rp1 miliar, setelah mereka bertemu di Hongkong, dan disepakati ada imbalan keuntungan senilai 15 persen untuk Wong. Sudrajat dan Santosa dalam pembuatan awal produksi ekstasi dibantu empat WN Cina, Zhang Manquan, Chen Hongxin, Jiang Yuxin, Zhu Xoxiong, namun terjadi ledakan di pabrik di Desa Karet yang melukai Chen Hongxin, sehingga mereka kabur ke Hongkong sebelum ditangkap petugas. Santoso bahkan pernah memerintahkan Sudrajat untuk merenovasi pabrik di Desa Cemplang, karena kondisinya tidak layak sebagai tempat memproduksi narkoba. Sebagai bukti bahwa pabrik itu milik mereka adalah akte pendirian pabrik PT Sumaco Jaya Abadi Nomor 124 tertanggal 30 Juni 2005 dihadapan notaris dan PPAT Herry Sosiawan SH dengan jenis usaha bidang industri, perdagangan, jasa pertambangan, pengangkutan percetakan, pertanian dan perbengkelan. Sudrajat dalam perusahaan tersebut berkedudukan sebagai komisaris dengan menyetor modal senilai Rp1,89 miliar, dan Santoso menjadi direktur yang telah menyerahkan dana senilai Rp1,1 miliar. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006