Jakarta (ANTARA News) - Baru-baru ini pertemuan ASEAN-China diselenggarakan di kota Nanning, Provinsi Guang Xi, China. Salah satu agendanya adalah memantapkan visi bersama dalam rangka Pasar Bebas Kawasan China-ASEAN (China-Asean Free Trade Area/CAFTA). Delegasi Indonesia dalam pertemuan tersebut dipimpin langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan didampingi Mari Elka Pangestu selaku Menteri Perdagangan yang selama ini dikenal akrab dengan dunia bisnis China maupun Asia Timur. Lantas, bagi pebisnis Indonesia apa kelanjutannya dari pertemuan CAFTA? Gagasan pembentukan CAFTA untuk pertama kalinya disepakati dalam Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) ketujuh di Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam, pada November 2001. Ketika itu ASEAN menyetujui pembentukan CAFTA dalam waktu 10 tahun yang dirumuskan dalam ASEAN-China Framework Agreement on Economic Cooperation, yang disahkan dalam KTT ASEAN berikutnya di Phnom Penh, Kamboja, pada November 2002. Sejak itu berbagai ulasan bermunculan. Salah satunya dari Sheng Lijun, peneliti dari Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) di Singapura pada 2003. Lijun dalam laporan suatu studi China-ASEAN Free Trade Area: Origins, Development and Strategic Motivations menguraikan gagasan China dan mengenai CAFTA yang dapat ditelusuri kebelakang di tahun 1995, ketika China justru untuk pertama kalinya mengusulkan suatu zona ekonomi khusus, yang serupa suatu kawasan perdagangan bebas (Free Trade Area/FTA) dengan provinsi selatan China. Sebagai kelanjutannya, sejak awal 1997 mulailah berbagai diskusi ilmiah di antara para akademisi yang mengupas berbagai moda zone ekonomi khusus disepanjang Sungai Yangtze dan Sungai Mutiara (Pearl River), yang melibatkan kalangan akademisi dari Jepang, Korea Selatan, Korea Utara (Zona ekonomi Sungai Tumen), Rusia, ASEAN, Taiwan, dan Hongkong. Konsep zona khusus demikian itu berbeda dengan zona ekonomi yang dsebelumnya digagas China awal dasa warsa 1980-an, ketika China mengawali reformasi ekonominya. Tahun 2000, para pimpinan China didukung berbagai ilmuwan dari berbagai pusat penelitian China memprakarsai diskusi yang lebih fokus, yakni mengusulkan dibentuknya CAFTA. Perdana Menteri (PM) China saat itu, Zhu Rongji, menyampaikan usulan itu dalam forum ASEAN Plus Three Summit di Singapura pada November 2000. Walaupun dalam hitungan waktu memasuki tahun keenam pada saat ini, serangkaian kekuatan tersebut mulai dapat membuat cemas dan takut bagi pihak lain bila menyaksikan bergeraknya keseimbangan kekuatan (balance of power) kearah Kerajaan Tengah (middle kingdom). Bayangkan saat gagasan CAFTA muncul yang disepakati bersama China dengan ASEAN untuk diawali implementasinya tahun 2010, maka akan terjadi integrasi perekonomian yang meliputi sebanyak 1,8 miliar konsumen, yakni 1,29 miliar dari China dan 550 juta dari ASEAN, dan belum lagi kalau menyertakan Jepang dengan jumlah penduduk 127 juta jiwa, serta Korea Selatan (Korsel) mencapai 48 juta jiwa. Angka statistik tersebut berdasarkan buku 2004 Economic Outlook for East Asia terbitan Institute of Developing Economies/JETRO, Japan. ASEAN dan China menyetujui dibentuknya CAFTA dalam dua tahapan waktu, yakni tahun 2010 dengan Negara pendiri ASEAN meliputi Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, dan Filipina, dan pada tahun 2012 melibatkan lima negara anggota baru, yakni Brunei Darussalam, Vietnam, Kamboja, Laos dan Myanmar. Indonesia menganggap CAFTA sebagai bagian dari regionalisme China. Oleh karena luas wilayah dan kemampuannya, China juga bermaksud membentuk suatu kawasan perdagangan bebas dengan Jepang dan Korea. Sejak awal 2004 Indonesia sudah menyerahkan daftar berisikan sebanyak 400 kategori produk yang terhitung sensitive and highly sensitive goods untuk dikecualikan dari skema liberalisasi CAFTA. Dalam daftar itu mencakup 348 kategori tarif di bidang industri otomotif dan elektronika, termasuk industri komponennya, beberapa sektor industri tekstil dan kimia, dan yang terhitung kategori hihgly sensitive sejumlah 50 kategori tarif, termasuk beras, gula, tepung kedelai, jagung, dan berbagai kelompok makanan lainnya. Dalam sidang AEM (ASEAN Economic Ministers Meeting) ke-36 di Jakarta pada September 2004, perundingan dengan China telah menghasilkan kesepakatan perdagangan dalam barang dan jasa, serta pokok-pokok pemecahan masalah yang kemudian diformalkan ke pertemuan di Laos. Dalam rangka CAFTA, kebanyakan barang yang diperdagangkan antara Indonesia dan China implementasi penurunan /penghapusan tarifnya sebanyak 5.250 kategori produk dilakukan dengan mengikuti skema dan waktu (time line) sebagai berikut: 1. Early Harvest Program (EHP) yang mulai diberlakukan per 1 Januari 2004 secara bertahap dalam kurun waktu tiga tahun tarif bea masuknya produk yang termasuk EHP sejumlah 449 produk menjadi nol persen. 2. Normal Track I, sejumlah 3.913 kategori produk dengan penurunan tariff bea masuk menjadi nol persen mulai tahun 2005. 3. Normal Track II, sejumlah 490 kategori produk dengan penurunan bea masuk mulai tahun 2012. 4. Sensitive/Higly sensitive sebanyak 398 kategori produk yang jumlah penurunannya masih dirundingkan secara lebih terinci dalam waktu dekat di tahun 2006 ini. Dalam catatan Departemen Perdagangan RI pada 2004 termaktub bahwa pengelompokan tarif tersebut didasarkan pada enam digit kategorinya ASEAN Harmonized Tariff Nomenclature (AHTN). Dalam hal inilah para pebisnis Indonesia hendaknya memahami dan mencermati bahwa dengan diberlakukan CAFTA, maka negeri ini akan menikmati berkurangnya hambatan non-tarif (Non Tariff Barrier/NTB) atas berbagai produk ekspor ke China. Dengan kata lain, berdaya saing bukan hanya slogan! Dewasa ini, masih terdapat sebanyak 13 (tiga belas) jenis komoditi yang terkena NTB, antara lain minyak olahan, kayu, polyester, serat akrilik, karet alam, ban (karet), natrium sianida, gula olahan, pupuk kimia, tembakau dan rokok, serta kuota sekaligus tarif bea masuk ke China atas kakao senilai 10%, sedangkan dari Malaysia nol persen. Untuk kelapa sawit yang tidak jelas pengenaannya dan menyebabkan kalah bersaing dengan yang berasal dari negara lain. Dari kesepuluh produk tersebut, Indonesia masih memiliki pangsa pasar yang cukup besar di China. Sayangnya karena kelemahan dalam berdaya saing dengan sesama ASEAN, banyak dari komoditas tersebut mulai kehilangan pangsanya. Produk-produk Indonesia yang melemah daya saingnya pada umumnya lantaran pebisnis negeri ini masih saja memfokuskan ke pasar yang tidak mengalami pertumbuhan atau tidak menyadari bahwa pebisnis China mulai menggeliat memberdayakan potensi internal yang tadinya tidak digarapnya. Dalam hubungan dengan Indonesia, China sangat menyadari dan memahami tersedianya sumber daya alam sebagai bahan baku untuk industri mereka. Data ekspor non-migas Indonesia ke China pada 2005 menunjukkan ekspor yang makin signifikan adalah kelapa sawit, pulp, karet alam, balata, kopra, tembaga, dan bahan baku sumber daya alam lainnya. Pebisnis Indonesia juga harus menyadari sekaligus memahami bahwa Malaysia, Singapura, dan Filipina sebagai sesama negara ASEAN terhitung pesaing komoditi ekspor ke China. Selain itu, pebisnis Indonesia hendaknya tidak menutup mata mengenai masih adanya sejumlah kendala dalam memasuki China yang berbentuk NTB yang setiap waktu berubah. Dewasa ini NTB itu berupa kuota, sistem perizinan masuknya produk minyak olahan, kayu, karet alam, dan sejumlah komoditas lainnya. Banyak kalangan elit di Indonesia bersama kalangan pebisnis nasional di negeri ini belum cukup andal memanfaatkan negosiasi regional untuk memperoleh atau memperdalam pangsa pasar atas produk produk yang selama ini menjadi unggulan memasuki China. Salah satu hal yang patut dicermati oleh pebisnis Indonesia adalah bahwa selama krisis keuangan Asia 1997-1998, justru cadangan devisa China sejak itu meningkat terus dan saat ini menurut berbagai telaah, cadangannya mencapai US$880 miliar. Meningkatnya cadangan devisa itu menunjukkan kompetensi dan kapasitas China dalam bidang ekspor. Selain itu, setiap kali muncul gugatan ketidaksiapan di pihak kita, maka hendaknya pebisnis dan kalangan elit Indonesia harus benar-benar mulai menjauhi jawaban klasik/klise bahwa tahun 2010-an sebagai tahun awalnya CAFTA masih terhitung lama. Dalam ini biarlah para pembuat kebijakan di pemerintahan yang merumuskan serangkaian langkah implementasinya, dan secara transparan sekaligus berkesinambungan mensosialisasikan apa, mengapa dan bagaimana berperan serta dalam CAFTA. Sekarang ini, dalam jangka pendek ini, bertahan hidup dan meluas secara pelan tidak semudah imbauan Pemerintah, apalagi kalau masih adanya oknum tidak bermoral yang tetap mempraktekkan bad governance. Pelayanan birokrasi Indonesia yang berpatron "lebih baik/bermutu, lebih cepat dan lebih murah" (better, faster and cheaper) hendaknya bukan slogan politis saja, tetapi demi efisiensi pelaku bisnis. Di pihak pebisnis pun harus terus diatur dengan mengutamakan produktivitas yang makin meningkat dan tidak membosankan. Itulah serangkaian tantangan kita semua, terutama kalangan pebisnis dan elit politik maupun pemerintahan, menyongsong era CAFTA. (*) *)Penulis adalah Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (Untar) Jakarta, dan Pengamat Ekonomi-Bisnis Asia.

Oleh Oleh Bob Widyahartono MA *)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006