Jakarta (ANTARA News) - Praktisi hukum senior Todung Muya Lubis mengatakan rendahnya tingkat kepatuhan pejabat-pejabat di lembaga yudikatif memperlihatkan kepada publik, betapa penegak hukum itu justru tidak mendukung upaya transparansi dan akuntabilitasnya sendiri. "Semestinya tingkat kepatuhan mereka yang paling tinggi dalam melaporkan kekayaannya. Kepatuhan dalam melaporkan kekayaannya bisa kita gunakan sebagai dasar untuk melihat integritas hakim-hakim itu ada atau tidak," kata Todung Mulya Lubis di Jakarta, Rabu. Ia mengemukakan hal itu mengomentari hasil laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) per 6 November 2006 yang disampaikan Wakil Pimpinan KPK, Sjahruddin Rasul usai membuka acara Penggalangan Komitmen Pemantauan Wajib Lapor LHKPN di Jakarta, Selasa (7/11) lalu. Menurut laporan KPK, lembaga yudikatif merupakan institusi yang paling rendah tingkat kepatuhannya dalam pelaporan harta kekayaan, yaitu 40, 64 persen dari 21.159 orang yang wajib melaporkan. Sedangkan lembaga BUMN/BUMN Daerah tercatat paling tinggi tingkat pelaporan harta kekayaannya pejabatnya, yakni 69,85 persen dari 5.137 pejabat. Berturut-turut diikuti legislatif 68,63 persen dari 16.637 orang, dan pejabat eksekutif 53,76 persen dari 65.975 pajabat yang wajib melaporkan harta kekayaannya. Total pejabat yang melaporkan kekayaannya baru 55,46 persen dari 118.718 pejabat yang harus melaporkan harta kekayaannya. Menurut tokoh Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) itu, saat ini publik juga belum terlalu tahu apakah masih ada harta kekayaan yang ditutupi atau tidak. Jadi sudah sepatutnya kalau pejabat di lembaga yudikatiflah yang menunjukkan tingkat kooperatif yang tinggi, sehingga secara moral publik bisa melihatnya sebagai pejabat yang betul-betul transparan dan akuntabel, termasuk dalam memperoleh harta kekayaannya. "Kita tidak anti orang kaya atau kekayaan. Tetapi bagaimana mendapatkannya secar wajar dan sah menurut hukum," ujarnya. Lebih jauh ia mengomentari, kalau melihat fenomena seperti sekarang, maka semangat untuk pemberantasan korupsi bisa mejadi lemah, karena lembaga yang semestinya menjadi contoh, ternyata tidak memiliki komitmen yang kuat dalam melaporkan harta kekayaanya. Hakim, ujarnya, harus menjadi contoh teladan untuk keterbukaan itu sendiri. Kalau semua pejabat baik di lembaga yudikatif, eksekutif dan legislatif tidak transparan, maka sama saja mereka tidak fair. "Kalau berbicara soal reformasi hukum dengan kenyataan seperti ini, maka bangsa ini bisa dibilang sebagai bangsa yang tidak beruntung. Bagaimana tidak, lembaga yudikatifnya sendiri tidak mendukung," kata Todung M Lubis. Ia menambahkan bahwa pejabat yang tidak menyadari transparansi dan akuntabilitas, maka akan menghambat upaya pemberantasan korupsi itu sendiri. Sementara itu, KPK sendiri menyatakan prihatin atas rendahnya tingkat kepatuhan dalam melaporkan kekayaan pejabat negara, apalagi menurut KPK masih banyak laporan kekayaan tersebut yang tidak layak. (*)

Copyright © ANTARA 2006