Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah menglaim berhasil menahan penularan dan penyebaran infeksi virus flu burung (Avian Influenza/AI) terhadap manusia di 21 provinsi selama enam bulan terakhir. "Kita sudah berhasil menahan terjadinya kasus pada manusia di 21 provinsi. Dalam enam bulan terakhir tidak ada kasus yang dilaporkan oleh pemerintah daerah," kata Bayu Krisnamurthi, Ketua Pelaksana Harian Komisi Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza di Jakarta, Kamis. Ia merinci, sebanyak 72 kasus flu burung terhadap manusia yang terjadi sejak Juli 2005 hingga November 2006 hanya dilaporkan di sembilan dari 30 provinsi yang dinilai berisiko tinggi menjadi jangkitan flu burung yakni Banten, DKI Jakarta, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan. Menurut Bayu, hal itu antara lain terjadi karena risiko penularan infeksi yakni penyebaran virus flu burung pada unggas, telah dapat diturunkan meski tidak dalam tingkatan yang besar. Ia menjelaskan, dalam enam bulan terakhir kasus flu burung pada unggas sudah tidak lagi dilaporkan terjadi di 14 provinsi dari 30 provinsi yang dianggap berisiko tinggi menjadi daerah jangkitan AI. "Dari 216 kabupaten di provinsi yang endemis, 154 kabupaten diantaranya sudah berhasil diturunkan resikonya. Tidak ada laporan dari pemerintah daerah maupun media tentang kasus baru yang muncul di sana," jelasnya. Ia menjelaskan, pula bahwa pengetahuan dan pemahanan masyarakat tentang ancaman virus flu burung juga relatif telah meningkat, sehingga tingkat pelaporan kejadian penyakit juga meningkat. "Itu terlihat dari penurunan persentase kasus konfirm dari total kasus yang dilaporkan. Jika sebelumnya 30-35 persen kasus yang dilaporkan dikonfirmasi positif, maka saat ini hanya 13-14 persen saja yang terbukti konfirm," jelasnya. Namun demikian, dia mengakui, peningkatan pemahaman dan kesadaran masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam upaya pengendalian infeksi flu burung hingga saat ini belum optimal. "Angka fatalitas kasus masih tinggi, masih sekitar 73 persen, karena keterlambatan penanganan. Rata-rata kasus positif masih ditangani di atas lima hari setelah on-set atau awal infeksi," katanya. Keterlambatan penanganan kasus, kata dia, antara lain terjadi lantaran masyarakat dan tenaga kesehatan di lini terdepan belum bisa mendeteksi dan mendiagnosis kasus flu burung secara cepat. Artinya, ia melanjutkan, pengetahuan dan pemahaman mereka tentang infeksi virus flu burung H5N1 masih terbatas. "Karena itu kampanye publik akan kita perkuat," demikian Bayu Krisnamurthi. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006